Datangnya hujan membawa sedikit keberuntungan pada Anom. Jan yang memiliki niat untuk mengusirnya, justru membawa masuk Anom ke warung. Sahabatnya itu masih punya kesadaran, sekalipun amarah pada dirinya kembali berkobar. Akan tetapi, Anom merasa percuma atas kebaikan Jan membiarkan ia berteduh di sini. Keberadaannya sama sekali tidak dianggap. Anom kalah dengan lukisan yang baru dibuat Jan. Lukisan itu mendapat perhatian yang lebih besar, Jan hanya terpaku pada lukisannya sejak tadi.
"Jan," panggil Anom seraya bangkit dari duduknya. Dia kemudian mendekat ke arah Jan yang membelakanginya. "Maafkan aku," ucapnya tulus.
Tidak ada respons sedikit pun dari sahabatnya itu, bahkan untuk sekadar menggerakkan tubuh. Jan tetap pada posisinya, mematung dengan pandangan kosong yang tertuju pada lukisannya.
Tangan Anom bergerak menyentuh bahu Jan. "Jan, aku sama sekali tidak menyukai Soca." Dia menghela napas pelan. "Perjodohan itu keinginan ayah. Aku bahkan berencana akan menolak perjodohannya."
"Kapan?" tanya Jan dingin, kemudian membalikkan tubuhnya menghadap Anom. "Sampai aku begitu tergila-gila pada Soca dan dia semakin yakin perjodohan itu akan kamu terima, Nom?"
Anom terdiam, sahabatnya itu menghadirkan sebuah ketegangan. Sorot mata Jan pun begitu tajam memandang dirinya. Namun, Anom merasa pantas mendapatkannya. Dia memang salah mengundur waktu untuk mengambil keputusan mengenai perjodohannya. Anom tidak menolak ataupun menerima. Kesalahan besar bagi Anom menutupi perjodohannya pada Jan. Tidak hanya itu saja, ia juga bersalah karena memberitahu perasaan Jan pada sang ayah. Pikirannya terlalu dangkal untuk ini semua, ia menyesal dan merasa dirinya ini sangat bodoh.
"Harusnya kamu beritahu aku sejak awal, Nom." Jan menarik napas dalam kemudian mengembuskannya dengan kasar. "Aku akan sadar diri. Harapan untuk memilikinya pun tidak akan pernah ada. Aku hanya akan merasa sedikit sakit dan nanti kembali pada satu tujuanku, Nom ... tanpa Soca. Kalau saja dulu kamu tidak merahasiakan perjodohanmu."
Anom menatap dalam sahabatnya itu. "Aku memiliki alasan untuk itu, Jan, dan aku menyesalinya," ungkap Anom benar-benar merasa bersalah. "Maafkan aku."
"Ya, memang harus begitu. Kamu harus menyesalinya, Nom." Jan tersenyum getir. "Hari ini bukan hanya perasaanku saja yang hancur, tetapi harapan menuju mimpiku juga ikut hancur. Aku kehilangan kesempatanku itu, Nom."
"Tidak, Jan." Anom menggeleng, seulas senyum tipis terukir di wajahnya. "Sekarang lupakan dulu tentang Soca dan dengarkan hal penting yang ingin aku bicarakan."
"Tidak mudah melupakan sesuatu yang sudah terkurung jauh di dalam hati, Nom." Jan membalik tubuhnya dan kembali menyaksikan perasaannya yang sudah berupa lukisan. "Perlu banyak waktu untuk menyembuhkan rasa sakit ini."
"Apa kabar baik mengenai lukisanmu yang diizinkan ikut dalam sebuah pameran dapat memudarkan lukamu itu, Jan?" tanya Anom tiba-tiba.
Jan terperangah dan mencerna kembali apa yang tadi diucapkan Anom. Dia justru merasa salah dengar sehingga kembali menghadap Anom untuk memastikan. "Apa yang kamu katakan barusan, Nom?" tanyanya dengan dahi yang berkerut. "Lukisanku ...?"
"Kamu tidak kehilangan kesempatanmu itu, Jan," ungkap Anom melebarkan senyumnya. "Aku tetap menemui orang itu tadi dan menunjukkan lukisanmu."
Jan jadi merenung dan merasa sedikit bersalah. Ketika keadaan yang menurutnya sedang runyam, sahabatnya itu masih sempat memikirkan impiannya. Begitu pedulinya Anom pada Jan dan juga mimpinya. Dukungan Anom tidak hanya omong kosong belaka, dia benar-benar berusaha membantu agar mimpinya itu jadi nyata.
"Awalnya dia merasa kecewa karena kamu tidak ikut bersamaku, Jan. Namun, untungnya dia tetap berbaik hati melihat karya-karyamu. Lukisanmu itu berhasil menarik perhatiannya dan dia setuju lukisanmu ikut dipamerkan," jelas Anom menatap bangga sahabatnya itu. "Lukisanmu boleh ikut serta di pameran bergengsi itu, Jan," serunya, sontak merangkul Jan yang terdiam.
Sesaat kemudian Jan pun tanpa sadar membalas rangkulan Anom. Dia seketika melupakan rasa sakit hati pada Anom yang tadi menguasainya. Jan masih tidak percaya atas berita gembira yang disampaikan sahabatnya. Hari ini suasana hatinya dibuat naik turun. Kepedihan yang ia rasakan ternyata hanya bersifat sementara, karena secara tiba-tiba kebahagiaan yang Jan idam-idamkan kini datang menghampiri. Dalam hati ia berkata, Aku boleh kehilangan Cinta, tetapi tidak untuk mimpiku. Seharusnya tadi aku tidak perlu merasa sakit untuk sesuatu yang baru saja menjadi tujuanku.
Pelukan itu pun terurai saat Anom baru mengingat masalah yang menyertai kebahagian Jan ini. "Tetapi, Jan ...." Raut wajah Anom berubah cemas. "Pameran itu berada jauh di luar kota. Kamu harus dapat izin dari bibi terlebih dahulu."
Lagi dan lagi takdir mempermainkan Jan. Kebahagiannya sekarang dengan cepat berubah menjadi rasa khawatir. Dia akan kesulitan mendapat izin sang ibu jika tempat pameran itu jauh dari tempat tinggalnya. Belum lagi uang yang harus ia dapatkan untuk bekal pergi ke sana. Perjalanan menuju mimpinya selalu saja diuji. Kehidupan memang tidak pernah memihak padanya. Jan jadi mengutuk nasibnya itu dalam hati, menganggap takdir buruk memang sudah ditetapkan dalam perjalanannya hidup di dunia.
Anom tidak enak hati melihat kesedihan dalam matanya Jan. Dia pun memegang salah satu bahu sahabatnya itu seraya berucap, "Jan yang aku kenal tidak pernah putus asa. Kamu pasti bisa membujuk bibi, Jan. Buat bibi yakin, kalau kamu itu bisa jadi orang yang sukses dalam bidang yang kamu sukai." Perkataan Anom itu membuat Jan memandang ke arahnya dengan raut wajah pasrah. "Biaya yang dibutuhkan untuk bekal dan pergi ke sana, kamu juga tidak perlu memikirkannya. Sudah aku katakan berkali-kali, aku ada di sini, Jan. Bersamamu dan juga impianmu. Biar uang yang kamu perlukan menjadi urusanku," tuturnya diakhiri sebuah senyuman untuk menghantarkan semangat pada sahabatnya itu.
Jan mengangguk, kemudian merangkul Anom. Dia melupakan luka dari patah hatinya akibat rahasia perjodohan Anom. Jan pun kini menghadirkan sebuah senyuman untuk sahabatnya itu, walaupun terlihat sedikit dipaksakan.
"Warung kita tutup saja, ya, Jan. Sekarang lebih baik kita pulang, memberitahu kabar baik ini pada bibi dan meminta izinnya. Orang itu juga meminta konfirmasi darimu malam ini," ujar Anom ketika melihat hujan sudah reda. "Aku nanti akan bantu bujuk bibi."
Perkataan Anom tersebut segera Jan turuti. Hari juga sudah menjelang sore, membujuk sang ibu pasti tidak akan singkat. Dia tidak mau menyia-nyiakan lagi kesempatan dan membuang banyak waktu. Untuk itu, selesai menutup warung, Jan dan Anom pun bergegas pulang. Dalam perjalanannya itu mereka disibukkan dengan pikirannya masing-masing. Keadaan di antara mereka mendadak canggung. Anom masih tidak enak hati pada Jan, sehingga merasa sungkan untuk mengajak Jan bicara. Sebaliknya dengan Jan, ia sudah lupa dengan rasa sakit hatinya. Jan sekarang sedang memikirkan cara dan menyusun kata-kata agar sang ibu nanti memberinya izin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pigura
General Fiction[Novelet] Lukisan-lukisan indah milik Jan sama sekali tidak menarik perhatian dunia. Seolah-olah kegagalan adalah gelar yang pantas untuk disematkan pada mimpinya. Padahal, demi mimpinya itu Jan harus mengorbankan perihal-perihal kecil yang penting...