Kita tidak pernah tahu detik selanjutnya akan seperti apa dalam kehidupan. Sama halnya dengan saat ini, Anom sama sekali tidak menyangka dengan ketetapan yang sudah ditentukan. Dia masih belum menerimanya, dada yang terasa sesak dan kepedihan yang membuatnya berulang kali mengeluarkan air mata. Anom benar-benar merasa ini hanyalah mimpi. Berharap beberapa saat kemudian ia terbangun dan semua kembali normal. Namun, sampai sekarang bunga tidur yang paling menakutkan bagi Anom ini tidak berakhir juga.
Pandangan Anom semakin melekat pada hal yang membuatnya hampa. Harapan-harapan yang mustahil berlarian di kepalanya. Permintaan yang lebih pantas disebut pemaksaan, ia panjatkan berkali-kali kepada Yang Maha Menghidupkan dan Mematikan. Anom menolak takdir yang sudah ditentukan, ia begitu hancur sekarang. Anom juga bertanya-tanya keberadaan sahabatnya itu sekarang di mana. Dia ingin mencari Jan, tetapi kakinya saja sedang tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Anom yang sedang lemah ini hanya dapat menunggu dengan rasa cemas.
Orang yang sedang Anom tunggu kehadirannya itu baru saja terbangun dari tidurnya di warung. Dia sedang merasakan jantungnya yang mendadak berdebar dengan hebat, ditambah perasaan yang jadi tidak enak hati. Semua organ tubuhnya seolah-olah bertindak tidak keruan, mendatangkan ketakutan yang mencekam, serta kegelisahan yang sangat mengganggunya. Alhasil Jan yang berniat pulang petang nanti berubah pikiran. Dia kini mulai melangkahkan kaki menuju rumahnya.
Setiap langkah yang Jan lalui, entah kenapa terasa berat. Jarak rumah dari warung memang jauh, ia juga belum makan dari kemarin siang. Namun, itu bukanlah alasan yang pas dan dapat dimengerti, seharusnya Jan kuat karena sudah terbiasa. Tiba-tiba saja kaki-kakinya itu berjalan cepat dengan sendirinya, seakan ada sesuatu yang harus segera ia temui. Tubuhnya pun ikut meremang saat rumah sang ibu sudah terlihat dari kejauhan.
Saat beberapa langkah lagi akan tiba di rumah, Jan dibuat keheranan dengan ramainya orang yang berkumpul. Sesak seketika memenuhi ruang di dadanya. Pemandangan seperti ini bagi Jan adalah pertanda buruk, ia pernah mengalaminya setelah satu tahun berpisah dengan sang ayah. Jan dengan kepanikannya segera berlari dan mencari tahu apa yang terjadi, sampai-sampai ia tidak sengaja terjatuh berkali-kali. Kakinya tiba-tiba saja merasa lemas dan tidak bertenaga.
Ketika Jan tiba di rumahnya, orang-orang yang tadi terdengar sedang melantunkan doa-doa, kini melihatnya dengan sedih. Mendapati hal yang seperti itu, dengan perlahan Jan berjalan ke dalam rumah dalam perasaan campur aduk yang semakin mendominasi. Berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi. Namun, sesaat kemudian kenyataan menghantamnya dengan keras. Jan terkesiap, matanya pun ia buka lebar-lebar. Tubuhnya tumbang seketika, sehingga Anom menyadari kehadirannya.
"Jan!" panggil Anom dengan sisa-sisa isak tangisnya. Dia juga segera menghampiri sahabatnya itu dalam keadaan yang sama rapuhnya seperti Jan. "Bibi ...." Anom tidak sanggup melanjutkan kalimatnya, ia memilih merangkul sahabatnya itu yang menatap kosong pada sumber rasa sakit yang kini menjalar di tubuh mereka.
"Kenapa ibu tidur di sini, Nom?" Jan mengurai paksa rangkulan Anom, kemudian mendekati jasad sang ibu yang tertidur damai. "Bu, ayo, pindah ke kamar. Malu, di sini banyak orang," ucapnya memegang lengan sang ibu yang sudah terbungkus kain kafan.
Hati Anom tersayat, sampai ia membekap mulutnya sendiri. Ingin rasanya ia menjerit mengeluarkan rasa sakit yang membelenggunya. Namun, Anom harus bisa lebih bersabar dari Jan. Kalau tidak begitu, siapa yang akan menenangkan Jan sekarang? Orang-orang yang hadir dan ikut berduka di sini tidak mungkin bisa jadi penopang Jan yang merasa lemah. Hanya dia saja yang kini jadi keluarga satu-satunya bagi Jan yang dapat menemani sakit yang sama-sama mereka rasakan.
Setelah menguatkan dirinya sendiri, kini Anom menghampiri Jan dan duduk tepat di samping sahabatnya. "Jan, tolong ikhlaskan bibi, ya," pintanya seraya memegang bahu Jan yang turun.
Jan menggeleng, menampakkan raut wajahnya yang terlihat datar, tetapi dengan jelas menyiratkan kepedihan dari sebuah kehilangan. "Ikhlas apa, Nom?" tanyanya tidak bertenaga. "Ibu hanya sedang tidur bukan?" Jan kini menoleh ke arah Anom dan tersenyum getir.
"Tidak, Jan." Anom dengan hati-hati melepaskan tangan Jan yang memegang kuat lengan sang ibu. "Bibi ... bibi sudah berpulang, Jan," jelas Anom yang kembali mengeluarkan air matanya.
"Omong kosong!" teriak Jan tidak terima, ia bahkan mendorong Anom sampai terjungkal. Dia menggeleng dengan cepat, merasakan rasa sakit yang sama seperti dulu, ketika ayahnya berpulang dan sekarang lebih parah dari itu. "Kamu pasti berbohong, Nom. Ibu kemarin baik-baik saja, aku melihatnya sendiri. Ibu ...."
Mata Jan tiba-tiba memanas, ia teringat pertengkaran kemarin dengan sang ibu. Setelah itu Jan kembali melihat ibunya yang terbujur kaku. Dia pun sadar, ibunya benar-benar sudah tiada. Semua rasa sakit di dunia saat ini seakan tertuju padanya. Jan pun mulai terisak dan tertunduk dalam di depan jasad sang ibu. "Ibu ... ibu benar-benar meninggalkanku, Nom. Ibu pasti sudah sangat muak dengan putranya ini, kan, Nom?" tanyanya dengan napas yang tersengal-sengal.
Anom menggeleng dan segera merangkul sahabatnya itu. "Tidak, Jan." jawabnya tersedu-sedu. "Bibi begitu menyayangimu. Apa yang bibi ucapkan kemarin hanya ancaman, dia tidak benar-benar ingin meninggalkanmu, tetapi takdir berkata lain. Kita harus kuat, Jan." Sama seperti Jan, ia juga merasa kehilangan yang teramat dalam, karena hanya dari ibunya Jan sajalah ia dapat merasakan kasih sayang seorang ibu.
Isakan Jan semakin keras. Dia membenci dirinya sendiri. Selama ini ia hanya memberi penderitaan pada sang ibu, tidak ada satu hal pun yang membuat ibunya itu bangga. Jan sangat menyesalinya, kata maaf yang ingin ia ucapkan pun sekarang sudah terlambat. Jan berlarut dalam kesedihannya, sehingga Anom pun berkali-kali memintanya untuk bersabar. Anom juga meminta Jan untuk berganti pakaian, agar jasad sang ibu bisa segera dikebumikan.
Setelah cukup lama Anom membujuk Jan, akhirnya Jan mau berganti pakaian dan kemudian pergi ke tempat pemakaman untuk mengubur jasad sang pelita di hidupnya. Proses penguburan sang ibu berlangsung lama, karena Jan awalnya tidak rela dan memeluk keranda ibunya dengan kuat. Tidak dia biarkan siapa pun membukanya dan membawa sang ibu pergi jauh darinya. Namun, Anom dengan sabar memberi pengertian pada Jan dan usahanya itu berhasil.
Kini, keduanya sudah pulang kembali dan sedang berdiam diri di dapur. Suasana rumah jadi sangat sepi, bukan karena orang-orang yang melayat telah pergi, melainkan kehadiran sang ibu yang sudah tidak ada lagi di sisi. Jan termenung menatap masakan terakhir sang ibu yang belum sempat ia cicipi. Dia mengasihi dirinya yang tidak dapat merasakan firasat apa pun sebelum kematian ibunya. Matanya kembali berair, tetapi dengan cepat ia menyekanya. Jan pun memaksakan senyuman, kemudian mengambil sendok yang berada di dekatnya. Sup ayam yang sudah terasa asam itu pun Jan santap.
Anom membiarkan apa yang sedang Jan lakukan. Makanan hampir basi itu biarlah sedikit menghibur Jan. Apalagi saat nanti ia memberikan fakta yang mengejutkan, sahabatnya itu harus mempunyai tenaga. Tidak lama kemudian telepon genggamnya berdering, menampilkan nama kontak sang ayah dalam layarnya. Anom pun segera mengangkatnya.
"Iya, ada apa, Yah?"
"Cepat pulang, ada orang tua Soca dan Soca di rumah. Mereka perlu jawabanmu sekarang juga," jawab sang ayah di seberang sana.
Anom menghela napas kasar. "Bibi baru saja meninggal dan Ayah menyuruhku segera pulang hanya untuk memberikan jawaban. Apa Ayah sama sekali tidak punya hati? Kita sedang berduka, Yah."
"Ayah tidak peduli, Nom. Cepat pulang!"
Panggilan telepon pun terputus. Anom berdecak dan menggeleng tidak percaya. Untuk saat ini ia tidak mau meninggalkan Jan sendirian. Namun, jika Anom tidak pulang, ia takut hal yang menjadi alasannya mengundur waktu untuk memberikan jawaban mengenai perjodohannya harus hilang. Mau tidak mau, Anom pun pulang ke rumahnya dan berjanji pada Jan akan kembali lagi secepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pigura
General Fiction[Novelet] Lukisan-lukisan indah milik Jan sama sekali tidak menarik perhatian dunia. Seolah-olah kegagalan adalah gelar yang pantas untuk disematkan pada mimpinya. Padahal, demi mimpinya itu Jan harus mengorbankan perihal-perihal kecil yang penting...