Milk menghentikan langkah, memandang gerbang besar itu dari jauh. Satu bulan lalu ia menggunakan seragam berbeda. Kini, seragam ia pakai sama dengan para siswa yang mulai ramai memasuki area sekolah. Ia mengembuskan napas berat, sekolah baru artinya teman baru, lingkungan baru, juga hidup baru. Ia harus bisa beradaptasi dengan semua itu.
Milk tak pernah mengira sang ayah akan menempatkannya di sekolah swasta mewah ini. Ia tak menolak, tentu ia tau sang ayah ingin ia mendapat pendidikan terbaik. Terlebih kehidupan ekonomi mereka kini sudah jauh lebih baik. Hanya saja, ia selalu berpikir bahwa orang-orang kaya—yang sudah bisa dipastikan hampir seratus persen dari siswa di sini, merupakan bagian dari golongan itu—cenderung memiliki pandangan berbeda terhadap orang-orang yang bukan dari kalangan mereka. Milk tak menyamaratakan semuanya, tapi sebagian besar memang seperti itu.
Pandangan Milk jatuh pada sebuah sedan hitam yang baru saja berhenti di depan gerbang, seorang perempuan turun dari sana. Dari banyaknya siswa yang berlalu-lalang, entah mengapa Milk memilih untuk mendekat pada perempuan itu.
"Hei maaf, boleh nanya?"
Perempuan itu berhenti, menatap Milk datar. Mungkin bingung karena tak pernah melihat wajah Milk sebelumnya.
"Oh gue Milk, murid pindahan. Lo?" Milk mengulurkan tangan, tapi perempuan itu tak meraih uluran tangannya, membuat Milk kembali menarik tangannya dengan cepat.
"Mau tanya apa?" Tak menanggapi Milk, perempuan itu balik bertanya, terlihat tak peduli dengan Milk.
Milk masih berusaha ramah, menepis pikiran bahwa orang kaya memang sama saja. Barangkali pagi perempuan di hadapannya itu tak berjalan baik sehingga mood-nya jadi buruk.
"Ruang guru di sebelah mana?"
"Dari lobi belok kiri, gedung ruang guru nggak jauh dari sana. Kalau nggak ketemu minta anter sekuriti," katanya. Perempuan itu pergi bahkan sebelum Milk sempat mengucapkan terimakasih.
Sekolah ini jauh lebih besar dari sekolah lamanya. Mengikuti arahan perempuan tadi, Milk akhirnya sampai di gedung ruang guru. Ia baru saja masuk saat tubuhnya tiba-tiba tertabrak seseorang. Milk mendongak, mendapati seorang perempuan tengah bersedekap dada, menatapnya begitu dingin.
"Kalau jalan pake mata," ketusnya.
Milk tak habis pikir, dirinya yang ditabrak, harusnya ia mendapat sebuah permintaan maaf, bukan malah tatapan dingin dan ucapan menyakitkan dari perempuan angkuh itu.
"Lo yang—"
Milk belum sempat menyelesaikan kalimatnya saat perempuan itu melangkah dari sana, meninggalakan Milk yang masih duduk di lantai dengan perasaan dongkol luar biasa.
"Calm down Milk, ini hari pertama sekolah dan lo nggak seharusnya buat masalah." Milk meyakinkan diri sendiri, coba menahan emosi yang rasanya akan meledak saat itu juga.
"Kamu nggak apa-apa?"
Milk menoleh, tersenyum mendapati seorang yang ia yakini guru itu mengulurkan tangan. Milk meraih uluran tangan itu. "Makasih bu," katanya. "Saya Milk, murid pindahan."
Guru itu tersenyum. "Pas banget, saya wali kelas kamu."
***
Milk dan bu Naya—wali kelasnya berjalan menuju kelas. "Semoga kamu betah ya di sini," kata bu Naya. Milk mengangguk, menatap tulisan kelas 3-1 di atas pintu sebelum menyusul masuk ke dalam kelas.
"Selamat pagi semuanya. Hari ini kita kedatangan murid baru." Seisi kelas langsung memusatkan perhatian pada Milk, membuatnya sedikit gugup.
Dengan seksama Milk mengabsen wajah setiap orang di kelasnya, dua di antaranya tak asing baginya. Perempuan yang tadi menabraknya duduk di bangku depan paling pojok, perempuan yang ia tanya di gerbang duduk di bangku depan bagian tengah.
Dua orang itu membuat mood-nya buruk, dan ternyata mereka satu kelas. Bagus sekali.
"Milk, silahkan perkenalkan diri kamu."
Milk mengalihakan pandangannya dari perempuan itu. Ia memasang senyum setulus mungkin. "Halo, namaku Milk Pansa. Kalian bisa panggil Milk aja. Aku harap kita bisa jadi temen. Terimakasih."
"Kalau butuh apa-apa jangan sungkan untuk bilang ya, Milk." Bu Naya beralih menatap perempuan di bangku depan itu. "Atau kamu bisa minta tolong Tu, dia ketua kelas di sini."
Milk menatap perempuan itu, lagi-lagi tatapan datar yang ia dapatkan. Dalam hati Milk menertawakan dirinya. Satu tahun ke depan hidupnya akan ia habiskan bersama orang-orang yang dingin dan angkuh.
"Kamu bisa duduk di samping View," kata bu Naya lagi. "Materi belajar kalian hari ini dibaca dulu ya, bu Meta kebetulan akan datang sedikit terlambat."
Milk duduk di bangku paling belakang, satu baris dengan perempuan angkuh yang menabraknya tadi. Ia tersenyum menatap uluran tangan teman sebangkunya. Senyumnya begitu lebar, seolah menerima dengan senang kedatangan Milk. "Gue pikir bakal duduk sendirian setahun ke depan. Untung lo dateng. Oh kenalin, gue View. Panggil Vi aja biar lebih akrab."
"Milk. Seneng bisa kenal lo, Vi."
"Yup, lo emang seharusnya seneng, karena gue adalah temen paling asyik sedunia." View tersenyum manis. "Nanti jam istirahat gue ajakin lo school tour ya, biar nggak nyasar kemana-mana. Tapi sebelum itu..." View mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang kelas. "Gue akan sebut dan jelasin dulu semua temen kelas kita."
View mulai menyebutkan nama serta menjelaskan latar belakang teman-temannya pada Milk secara detail. Membuat Milk takjub, bagaimana bisa teman sebangkunya itu mengetahui secara detail mengenai informasi teman-teman kelasnya. Memang sekolah ini terdiri dari sekolah dasar, hingga menengah atas. Barangkali sebagian dari penghuni kelas sudah kenal sejak kecil, pikir Milk.
"Selanjutnya Tontawan atau Tu," kata View. Milk langsung mengalihkan pandangan, menatap punggung perempuan berambut panjang itu. "Dia itu siswa paling pinter di kelas kita, hampir selalu dapet nilai tertinggi. Udah pinter, cantik, duhh hampir sempurna deh. Dia orangnya agak pendiem, jarang ngomong. Kalau yang nggak kenal-kenal banget sih pasti udah dikira sombong. Tapi aslinya baik, kok. Cuma rada dingin aja orangnya. Keluarganya punya rumah sakit yang terkenal banget. Denger-denger sih Tu yang nanti bakal gantiin ayahnya buat mimpin rumah sakit itu."
"Nah yang terakhir tuan putri kita." Milk mengalihkan pandangannya pada satu-satunya orang yang belum dijelaskan View. "Love. Nggak kalah cantik dari Tu, juga nggak kalah pinter. Nilai mereka selalu kejar-kejaran. Ya bisa dibilang mereka itu top two sekolah lah ya. Tapi untuk Love, let me give you advice. Jangan macem-macem deh sama dia. Sesuai julukannya, tuan putri sekolah. Dia punya banyak dayang-dayang yang akan siap di belakangnya kalau ada orang yang cari masalah sama dia. Keluarganya donatur terbesar sekolah ini, makanya kalau dia buat ulah paling cuma ditegur doang, nggak pernah dapet hukuman." View mengambil pulpen, menggambar sebuah segitiga yang terbagi menjadi tiga bagian di atas kertas. "Istilahnya kalau Tu ada di sini," View menunjuk bagian kedua. "Love itu ada di sini. Top of the list," katanya, menunjuk bagian paling atas.
View mendekatkan wajahnya pada Milk. "Hubungan Tu sama Love itu kurang baik. Padahal dulu mereka sahabatan banget. Malah setau gue dari kecil. Keluarga mereka juga punya koneksi bisnis." Milk otomatis menatap Tontawan dan Love bergantian. "Menurut gosip yang beredar sih, hubungan mereka renggang gara-gara rebutan cowok pas SMP." View bersandar pada tembok. "Tapi itu masih gosip ya. Aslinya nggak tau deh mereka pecah gara-gara apa."
View tersenyum, merangkul bahu Milk. "Anyway, jangan terlalu dipikirin. Yang paling penting sekarang adalah... lo udah punya temen baru yang seru!" View memberikan ponselnya pada Milk. "Simpen nomor lo. Kita harus banyak diskusi kegiatan apa yang yang akan kita lakuin pas pulang sekolah atau hari libur. Tahun terakhir di sekolah harus jadi tahun terseru buat kita."
Tersenyum, Milk mengambil ponsel itu, menyimpan nomornya di sana. Yaa setidaknya ia punya teman baru yang menyambutnya begitu antusias. Mungkin sekolah di sini tak terlalu buruk.
Ia harap begitu.
Hallo, Blue's here. Ini adalah cerita pertama gue tentang MilkLove. I really love this couple because their energy's so positive. I hope you like this story.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity (MilkLoveTu)
FanfictionKetika dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit.