Love berdiri tak jauh dari pintu lobi, memeriksa ponselnya, menanyakan keberadaan Prim. Sahabatnya itu memintanya untuk menunggu di lobi, berniat untuk ke ruang guru bersama. Pagi-pagi sekali bu Naya menghubungi agar mereka datang ke ruang guru terlebih dulu, entah untuk urusan apa.
Karena Prim tak juga membalas pesan terakhirnya, Love bergeser ke samping display raksasa yang dihiasi dengan poster-poster dan karya seni yang dibuat oleh para siswa. Juga tentu saja untuk memamerkan berbagai piala, medali, dan sertifikat prestasi sekolah dalam bidang akademik, olahraga, dan seni. Love tersenyum melihat piala yang disumbangnya terpajang di sana.
Pandangan Love jatuh pada Milk yang terlihat baru saja datang, ia tak lagi berjalan tertatih-tatih seperti kemarin-kemarin, luka di lututnya sudah terlihat mengering. Setelah kejadian terakhir di rumah Milk, keduanya memang sedikit jarang berkomunikasi, fokus pada ujian akhir yang selesai beberapa hari lalu. Tapi tentu Love memilik banyak cara untuk mengetahui keadaan Milk, tanpa harus bertanya langsung pada perempuan itu.
Jantung Love berdebar kencang saat mata mereka bertemu, dan ia merasakan pipinya menghangat. Love segera menenangkan diri, mencoba bersikap biasa saja. "Pansa."
Milk tersenyum, mendekat pada Love. "Hei." Ia balik menyapa.
"Emm gimana ujian kemarin. Lancar nggak lo jawabnya?"
Milk terkekeh. "Udah lewat beberapa hari dan lo baru nanyain sekarang?"
Love berdecak kesal. "Ya terserah guelah, masih bagus gue tanya."
"Iya iya lancar kok. Masih pagi udah sewot aja lo."
"Ya makanya lo jangan bikin emosi." Love menunjuk lutut Milk, terlihat acuh tak acuh. "Itu, masih sakit nggak?"
"Udah kering sih, tapi kadang sakitnya muncul tiba-tiba."
"Kena—"
"Wah, wah, wah! Look who's here! Pansa and Pattranite. Kalian dateng bareng ya? Waah pantes lo nggak mau bareng gue Milk. Ternyata..." View yang entah datang dari mana tiba-tiba datang, merangkul Milk dari samping, tersenyum jahil pada keduanya.
Mata Love membelalak karena terkejut, ia juga bisa melihat ekspresi Milk tak jauh beda dengannya.
"Vi, diem nggak!" desis Milk, melepaskan rangkulan di bahunya.
View terkekeh, sama sekali tak terpengaruh dengan tatapan tajam Milk. "Oh, ayolah, Vosbein! Gue cuma ngomongin fakta. Coba deh lo pikir, buat apa lo nolak berangkat bareng gue kalau bukan gara-gara lo ke sekolah sama orang yang spesial."
Love memutar bola mata malas, merasakan wajahnya semakin panas setiap kali View berbicara, walau itu tak benar adanya. "Gue sama Pansa nggak sengaja ketemu di sini, lo jangan berlebihan deh Vi!"
View mengangkat alis. "Oh ke kebetulan? Jadi nyari posisi mojok gini juga kebetulan ya? Biar nggak keganggu sama orang lain gitu."
Love tertawa, tak tau harus bersikap bagaimana. Jika defensif, View akan terus mengejek. Jadi mencoba santai adalah cara untuk menghindari hal itu. "Lo kalau nggak godain Pansa sehari aja kayaknya bakal sakit ya, Vi."
View merasakan sebuah kesempatan, ia menimpali. "Soalnya kalau godain lo gue nggak berani, jadi godain Pansa aja deh."
Milk menarik ujung lengan kemeja View. "Vi, udah deh, nggak lucu."
View berdeham, sedikit memberi jarak dengan Milk dan Love. Ia memperhatikan keduanya dari ujung rambut hingga kaki. "Tapi serius deh, kalau gue perhatiin, lo berdua cocok juga ya. Milk Love Milk Love.. tuh nama lo berdua aja bagus kalau disatuin. Jangan-jangan..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity (MilkLoveTu)
FanfictionKetika dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit.