"Nih, serius amat lo nontonin orang main basket. Geser dikit dong."
Milk meraih minuman dingin yang disodorkan View, memberi ruang temannya untuk duduk. Ia kembali memusatkan perhatian pada teman-teman kelasnya yang sedang bermain basket. Kelas terakhir mereka kosong, tentu saja seluruh teman-temannya berpencar ke seluruh penjuru sekolah.
"Gimana perkembangan?"
"Perkembangan apa?" Tanya Milk bingung.
"Perkembangan kandungan bu Meta. Ya perkembangan hubungan lo sama Tu dong Pansa Vosbein!"
Milk memutar bola mata malas, mulai menikmati minumannya. "Nggak berkembang."
"Maksud lo? Coba jelasin."
"Ya nggak ada perkembangan, stuck di situ aja."
"Kena friendzone ya lo?" Milk bahkan belum menjawab saat tawa View pecah. "Emang lo udah nembak? Atau nyatain perasaan deh seenggaknya," tanya View.
"Nggak nembak langsung, sih. Cuma udah menjurus ke sana, tapi reaksinya nggak seperti yang gue harapkan."
"Aduh si Pansa, baru ditolak sekali aja udah putus asa gini. Kalau lo beneran naksir ya kejar lagilah, sampe luluh, sampe dapet. Ya emang sih seorang Tontawan pasti susah digapai, saingan lo juga banyak, tapi nggak ada salahnya usaha dulu."
Milk menarik ujung rambut View. "Enak lo ngomong doang, coba lo yang jalanin, nggak yakin gue lo bisa maju."
"Jangan remehin gue! Gini-gini gue dokter cinta."
Milk terkekeh, ia bahkan tak pernah mendengar View bercerita mengenai kisah cintanya, bagaimana bisa ia jadi penasihat cinta. "Lo itu teori seratus, praktek nol besar."
"Wahh sialan lo beneran ngeremehin. Gini deh, mulai sekarang selain jadi temen, gue bakal jadi penasihat cinta buat lo. Lo buktiin aja omongan gue. Kalau setelah usaha lagi tapi Tu nggak mau juga, nggak apa-apa, mungkin emang nggak jodoh. Lagian, kan masih ada Love. Kalian pernah ciuman, kan?"
Milk mendengus kesal, kalau ada filter untuk menyaring perkataan, rasanya ia akan membelinya untuk View. "Eh itu bukan ciuman ya, tapi dicium. Perlu digaris bawahi, dia yang nyium gue!"
"Ssttt diem dulu, gue belum selesai. Sampe mana tadi?"
"Sampe Love."
"Ah iya. Kalau misalkan menurut penuturan lo yang belum gue percaya seratus persen itu, bahwa Love pernah nyium lo, artinya dia ada feeling sama lo. Kesempatan lo sama dia jadi lebih besar dong. Hoki banget sih lo kalau beneran jadian sama salah satu di antara mereka. Nah yang terakhir baru nih... kalau misalkan Tu nggak dapet, Love juga nggak dapet, masih ada satu lagi yang bisa jadi pacar lo."
"Siapa?"
View mengangguk, memberi isyarat pada Milk untuk menoleh ke belakang.
"Marco?" Bingung Milk. Ia memang cukup akrab dengan laki-laki itu. Tapi sejauh ini, setiap ia dan Marco bersama, obrolan mereka hanya seputar basket. "Jangan ngaco deh lo."
"Yee dibilangin nggak percaya. Dasar nggak peka lo! Marco tuh selama ini naksir tau sama lo, keliatan banget malah."
Milk baru saja akan menimpali ucapan tak masuk akal View saat sebuah bola basket menggelinding di bawah sepatunya. Begitu mendongak, Marco sudah berdiri di hapadannya.
"Eh gue ke kelas dulu ya ambil tas, lo di sini aja Milk, tas lo biar gue ambilin." View tak menunggu respon dari Milk, ia langsung pergi meninggalkan Milk dan Marco.
Dalam hati Milk mengumpat, kesal pada View yang ia yakin sengaja meninggalkannya berdua. Ia baru saja membicarakan Marco dan sekarang ia terjebak dengan laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity (MilkLoveTu)
FanfictionKetika dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit.