Melodies of Pain

1.6K 232 49
                                    

Flashback

"Itu bukan jalan ke arah rumah View. Lo abis dari mana, Pansa?"

Seketika senyum Milk luntur. Ia kehilangan kata-kata. Jika bukan Love yang bertanya, ia akan dengan mudah menjawab. Tapi mengapa setiap kali Love menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan Tu, seluruh kalimat yang ia siapkan seperti tertahan di tenggorokan.

"Saya pikir mbak Love udah pulang."

Tatapan Milk dan Love sontak terputus, keduanya menoleh ke sumber suara, mendapati satpam di pintu.

"Saya mau kunci ruangan, mbak. Bersih-bersihnya udah selesai?" Kata satpam itu lagi.

Milk dan Love beranjak dari duduknya. "Udah selesai pak, kami permisi ta," kata Milk.

Dalam hening, Milk dan Love berjalan menuju lobi. Rasa canggung yang tercipta di ruang musik belum juga hilang.

Love meraih tangan Milk begitu perempuan itu akan berbelok ke area parkir. "It's just a simple quetion. Kenapa lo selalu menghindar setiap gue tanya hal-hal kaya gini?"

Lagi-lagi Milk tak bisa menimpali.

"Hubungan gue sama Tu emang nggak baik, tapi gue nggak pernah sekalipun mempengaruhi orang lain buat nggak suka sama dia. Bahkan Prim sama Tu tetep main bareng sampe saat ini. It's just between me and Tu." Genggaman di pergelangan tangan Milk terasa semakin erat. "Kalau diam lo selama ini untuk melindungi Tu, maka lo nggak perlu lakuin itu lagi. Gue nggak keberatan lo temenan sama dia. I mean... gue juga nggak punya hak untuk ngerasa keberatan, kan, Pansa?" Genggaman itu terlepas. "You better tell me the truth, even if I don't like it." Sampai Love meninggalkannya ke lobi, Milk masih saja diam.

Flashback off

*
*
*

Milk sedikit bingung mendapati sang ayah duduk di meja makan, menikmati kopi pagi sambil sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Biasanya ketika Milk sarapan, sang ayah sudah berangkat ke kantor.

"Pagi, sayang. Sarapan dulu." Sang ayah menyodorkan roti, menuangkan jus ke dalam gelas Milk.

Milk semakin bingung, atau mungkin canggung. Entah kapan terakhir kali ia dan sang ayah sarapan bersama, ia bahkan tak bisa mengingat.

"Ayah udah mutusin, kita pake jasa ART tetap aja. Biar ada yang masakin buat kamu tiap hari, jadi nggak perlu beli di luar terus. Ayah juga khawatir kamu sering sendirian di rumah, kalau ada ART kan kamu jadi ada yang nemenin."

Seharusnya Milk merasa senang, setidaknya sang ayah menunjukkan kepedulian padanya dengan rencana itu. Tapi nyatanya bukan itu yang diinginkan Milk. Ia tak keberatan jika harus memesan makanan dari luar setiap hari, ia juga tak keberatan harus menghabiskan waktu di rumah sendiri. Satu-satunya yang ia butuhkan adalah kehadiran ayahnya, bukan orang lain.

"Hari ini ada pertemuan rutin wali murid sama wali kelas, yah."

Sang ayah mengalihkan pandangan dari laptop. "Kok mendadak ngasitaunya?"

"Aku udah kirim undangannya ke ayah dari minggu lalu. Kayaknya ayah nggak baca."

Mengembuskan napas berat, sang ayah terlihat frustasi. Terlalu sibuk hingga ia tak tau Milk mengiriminya pesan mengenai pertemuan itu.

"Maaf banget sayang, ayah nggak liat pesan kamu." Ia melihat jam di pergelangan tangan, sudah hampir jam tujuh. "Ayah ada meeting penting hari ini. Jam delapan harus udah di kantor. Gini aja, untuk hasil evaluasi belajar kamu, biar nanti ayah yang telpon wali kelas kamu, ya?"

Gravity (MilkLoveTu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang