Perlahan Milk membuka mata, cahaya terang dari lampu menusuk seperti ribuan jarum. Ia menoleh ke samping dengan lemah, meringis kesakitan saat selang infus dan kabel yang menempel di tubuhnya seperti menarik kulitnya. Bunyi mesin di samping menciptakan sensasi yang membuat kepalanya berputar.
Ia mencoba mengangkat tangan, tetapi rasa sakit yang tajam menusuk lengan bagian kirinya. Ingatan mengenai alasan ia berbaring di tempat tidur ini kemudian muncul. Kenangan kecelakaan itu membanjiri kembali. Derit ban, derasnya hujan, dan perasaan tanpa beban saat ia terlempar dari sepeda motornya.
Lengan kirinya terbungkus gips tebal yang membentang dari bahu hingga pergelangan tangannya. Kaki kirinya juga terbungkus gips yang sama, membuatnya merasa seperti mumi. Ia mencoba bergerak, tetapi rasa pusing langsung melanda, memaksanya untuk berbaring kembali.
Saat ia menoleh ke arah jendela, saat itulah ia melihat View tertidur di sofa panjang di sudut kamar. Kantung matanya terlihat jelas, barangkali karena kurang tidur. Selimut menutupi bahunya, dan ponselnya tergeletak di dadanya.
Hati Milk mencelos melihat itu. Rasanya jutaan ucapan terimakasih tak akan mampu menandingi kesetiaan dan ketulusan sahabatnya itu. Milk ingat betul, di hari kelulusan, saat namanya dipanggil untuk naik ke atas panggung dan tak menemukan ayahnya dari ratusan orang tua yang hadir di sana, ayah dan ibu View yang menyambutnya begitu ia turun dari panggung. Tersenyum dan menatapnya begitu bangga. Tapi Milk bisa melihat tatapan iba di sana. Tentu siapapun akan merasakan hal yang sama.
Tanpa disadari, air mata Milk kembali luruh. Ingatan mengenai apa yang terjadi malam itu kembali muncul. Itu membuatnya menyayangkan apa yang terjadi. Bukan insiden itu, tapi kondisinya saat ini. Harusnya, sekalian saja Tuhan mengambil nyawanya. Untuk apa ia hidup jika tak ada yang menginginkan keberadaannya, pikirnya.
"Milk, lo udah sadar?!" Seruan View membuat Milk menoleh.
Dengan keadaan masih setengah sadar, View memencet call button di samping ranjang berkali-kali. "Akhirnya lo sadar juga. Mana yang sakit, Milk? Tunggu dokternya bentar ya." View meraih ponselnya, mulai menelpon entah siapa. Milk tak bisa mendengar percakapan itu dengan jelas, yang ia lihat hanyalah tatapan tulus sahabatnya itu, matanya yang berkaca-kaca, menunjukkan betapa lega ia melihat kondisinya.
Tak lama dokter dan perawat masuk ke dalam kamar, mulai memeriksa keadaan Milk. Di sudut kamar View masih menelpon, entah siapa lagi yang ia hubungi.
Milk bahkan mengabaikan rasa sakit luar biasa yang tiba-tiba muncul di lengan dan kakinya yang terluka, melihat betapa sumringah View membuatnya tersenyum di tengah kesakitan. Entah sudah berapa kali Milk mensyukuri kehadiran View di hidupnya, ini kali pertama melihat orang lain begitu peduli padanya.
*
*
*"Satu suapan lagi dong, nanggung banget nih!"
Milk menggeleng. "Kenyang gue," katanya.
"Yaelah biasanya juga minta tambah lo. Ini gue udah usaha banget beliin lo di kantin lima, mubazir nggak diabisin!"
Milk hanya tersenyum mendengar omelan sahabatnya itu. Pagi-pagi sekali, saat View baru saja datang untuk menjenguknya, Milk meminta View membeli nasi goreng di kantin nomor lima di sekolah. Nasi goreng di sana adalah kesukaan Milk dari semua stand yang menjual berbagai makanan. Awalnya View menolak, tapi Milk beralasan ia tak mau memakan makanan rumah sakit, akhirnya View mengalah dan pergi ke sekolah untuk membeli nasi goreng untuknya.
"Awas lo ya minta makan aneh-aneh lagi tapi nggak diabisin," ancam View, Milk hanya tersenyum.
"Vi?"
"Hmm?"
![](https://img.wattpad.com/cover/369418807-288-k793858.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity (MilkLoveTu)
FanfictionKetika dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit.