Milk menatap ponselnya yang sejak tadi berdering, tak satupun dari puluhan panggilan View ia terima. Ia merasakan campuran emosi yang berputar-putar di dalam dirinya. Kemarahan, kekecewaan, dan rasa sakit yang begitu dalam. Ia selalu berusaha untuk mengerti alasan atas ketidakhadiran ayahnya, tetapi kali ini, ia tak tahan lagi.
Di saat teman-temannya tersenyum menerima surat kekulusan dari sekolah, mendapat pelukan hangat dari orang tua mereka, Milk hanya diam, diselimuti rasa kecewa luar biasa karena tak ada sambutan hangat dari sang ayah.
Ayahnya berjanji untuk menghadiri acara kelulusannya pagi tadi, tetapi ia tidak muncul. Tak ada panggilan telepon, tak ada pesan. Milk bahkan tak yakin sang ayah mengingat hari ini.
"Sayang."
Milk menoleh, tak menunjukkan ekspresi apapun saat sang ayah tiba-tiba datang, dengan napas terengah, seolah baru saja mengikuti lomba maraton. Dasinya sudah tak rapi, briefcase di tangannya kini tergeletak di atas rumput.
"Maafin ayah. Ayah nggak tau rapatnya akan lebih panjang dari yang ayah kira. Ayah bener-bener nggak bisa ninggalin rapat itu."
"Rapat?" Nada Milk seakan tak percaya. "Ayah pikir aku percaya itu? Ayah selalu ada rapat. Ayah selalu punya alasan. Aku udah muak dengan semua ini. Ayah nggak pernah jadiin aku prioritas." Milk sadar ia bersikap kasar, tetapi ia tak lagi bisa menahannya. Sudah terlalu sering terluka sebelumnya, dan ia lelah menjadi orang yang selalu memaafkan, yang selalu mengerti.
"Denger, sayang, ayah tau ayah sering ngecewain kamu sebelumnya," kata sang ayah, suaranya melembut. "Tapi kali ini, itu sangat penting. Ayah harus stay karena rapat kali ini menentukan karier ayah."
"Karier? Karier ayah lebih penting daripada aku? Lebih penting daripada hari kelulusanku?"
Sang ayah melangkah maju, matanya menyiratkan penyesalan. "Enggak, sayang, bukan itu maksud ayah. Tentu kamu yang paling penting, kamu satu-satunya yang ayah punya."
Milk merasa dilema. Sebagian dari dirinya ingin memaafkan, melepaskan amarah dan rasa sakit. Tapi bagian lain dari dirinya, bagian yang lebih dalam, berteriak untuk membela dirinya sendiri, untuk membuatnya mengerti bahwa ia pantas mendapatkan perlakuan yang lebih baik.
"Pernah nggak sekali aja ayah peduli sama aku? Nanya apa yang aku suka dan aku nggak suka. Nanyain aku ada PR atau enggak. Nanyain gimana hari-hariku di sekolah. Nggak pernah kan, yah?"
"Sayang, kamu tau ayah sibuk kerja. Ini juga buat kamu, sayang."
Milk tersenyum sinis. "Enggak, ayah nggak sibuk kerja. Karena sesibuk apapun, orang tua nggak akan mengabaikan anaknya. Ayah cuma sibuk nyembuhin diri dari luka karena kepergian bunda."
"Pansa kita udah setuju untuk nggak bahas masalah itu." Raut wajah sang ayah seketika berubah.
"Tapi hal itu yang buat hubungan kita renggang, yah! Ayah terlalu fokus sama diri sendiri, sampai lupa fakta bahwa aku juga terluka. Aku juga kehilangan, yah. Aku juga sakit! Di saat orang lain menikmati kebersamaanya dengan orang tua, aku malah kehilangan peran keduanya. Nggak ada yang bisa aku jadikan tempat untuk berbagi. Saat aku sedih, senang, bahkan saat aku... bingung dengan orientasi seksualku."
"Maksud kamu?" Sang ayah semakin mendekat.
Tangannya mulai bergetar, Milk mengepalkanya kuat-kuat. Tatapannya jatuh tepat pada mata sang ayah yang kini terlihat gundah. Dengan sisa keberanian yang ada, juga rasa kecewa dan amarah yang bercampur, Milk bersuara. "I'm gay, yah."
Milk bisa merasakan rasa gundah sang ayah, berubah jadi amarah. "Sayang, kamu cuma bingung dengan keadaan. Kamu masih terlalu muda untuk tau hal itu. Ka-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity (MilkLoveTu)
FanfictionKetika dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit.