Sudah sepuluh menit sejak Love datang di rumah Milk, mendapat kabar dari asisten rumah tangga bahwa yang ia cari sedang tak di rumah. Love memutuskan untuk menunggu di depan rumah. Ya, setelah percakapan terakhirnya dengan Milk beberapa hari lalu, ia hampir tak pernah "bersentuhan" langsung dengan perempuan itu. Love benar-benar menarik diri.
Waktu terasa begitu lambat, pikiran Love melayang pada skenario terburuk jika ia menemui Milk nanti. Saat menit demi menit berlalu, rasa cemas Love meningkat. Ia memeriksa jam tangan untuk kesekian kali, bertanya-tanya apakah Milk pulang larut, atau perempuan itu barangkali tau ia akan ke sini. Tepat saat ia akan menyerah, Love melihat Tu dan Milk berjalan di trotoar, bergandengan tangan dengan senyum menghiasi wajah keduanya.
Love merasakan sesuatu yang tak mengenakkan di dadanya, mimpi buruk yang sama, yang terasa tak asing baginya. Tu, dengan senyum dan tawanya yang menawan, membuat orang mudah jatuh cinta padanya. Dan sekarang, tampaknya Milk menjadi bagian dari orang-orang itu. Dari cara keduanya saling memperlakukan, jelas hubungan Milk dan Tu sudah sangat jauh. Jauh melampaui ekspektasinya.
Saat mereka mendekat, mata Love terpaku pada tautan tangan Milk dan Tu. Ia bisa melihat keterkejutan di wajah keduanya saat menyadari keberadaannya.
"We need to talk, Pansa." Love sebisa mungkin membuat suaranya terdengar tenang, walau emosi sudah mulai menghinggapinya.
Milk tampak ragu-ragu, matanya menatap Tu, genggaman tangannya terlihat lebih erat. Hal itu membuat emosi Love semakin bertambah.
"It's okay, Milk. Mungkin ada hal penting yang harus diomongin Love sama kamu." Perlahan Tu melepaskan ganggaman tangannya, mengusap sebelah pipi Milk dan tersenyum lembut. "Aku kabarin kalau aku udah sampe rumah, ya?"
Milk mengangguk singkat sebagai jawaban. Interaksi keduanya membuat amarah Love terasa kian memuncak. Tu sempat menatapnya sebelum masuk ke dalam mobil, meninggalkan dirinya dan Milk berdua.
"Ada apa?" Tanya Milk akhirnya.
Love ragu-ragu, matanya melirik ke sekeliling halaman, mencari kata-kata yang tepat. "Ini tentang lo dan Tu," katanya akhirnya, suaranya penuh penekanan.
Alis Milk terangkat, ia menyilangkan kedua lengan di dadanya. Love bisa merasakan rasa kesal Milk padanya. "Gue sama Tu? Kenapa dengan kami berdua?"
Hati Love mencelos, tetapi ia berusaha tetap tenang. Sikap Milk padanya jelas dikarenakan dirinya, bagaiamana ia memperlakukan perempuan itu beberapa hari terakhir. "Gue tau kalian berdua banyak ngabisin waktu sama-sama akhir-akhir ini, dan hubungan kalian barangkali lebih dari sekadar temen. Gue cuma... I just want you to stay away from her," kata Love.
Ekspresi Milk berubah, intonasi suaranya meninggi. "Maksud lo apa sih, Love? Dia temen gue, gimana bisa lo minta gue untuk menjauh."
Mata Love mulai berkaca-kaca, dan ia merasakan tenggorokannya seperti tercekat. Permintaan itu tentu saja terasa aneh bagi Milk. Ia bukan siapa-siapa, dan ia tak punya hak untuk melarang dengan siapa Milk bergaul. Love sepenuhnya sadar akan hal itu, tapi ia tak bisa lagi menahan perasaannya, terlebih saat melihat bagaimana interaksi Milk dan Tu tadi.
"Gue tau itu," katanya, suaranya bergetar. "Tapi gue nggak bisa ngeliat kalian berdua. Tatapan lo ke dia, senyum tulus lo, cara lo perlakuin dia, gue nggak suka dengan semua itu, gue benci itu, Pansa!"
Udara terasa panas karena ketegangan saat mata Milk menatap tajam Love. Sesaat, waktu terasa berhenti, dan satu-satunya suara yang terdengar hanyalah dengungan mobil yang lewat.
"Kenapa?" Tanya Milk akhirnya.
Love menggeleng, belum mampu menjawab. "Gue tau nggak adil minta lo untuk jauhin Tu. Gue juga sadar nggak punya hak untuk itu. Tapi gue udah nggak sanggup nahan ini."
![](https://img.wattpad.com/cover/369418807-288-k793858.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity (MilkLoveTu)
FanfictionKetika dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit.