1. Sebuah Aturan

34 4 0
                                    

Tidak jauh berbeda seperti sebelumnya, hari ini adalah Rabu. Perkiraan cuaca mengatakan bahwa pukul empat sore nanti akan turun hujan yang cukup deras. Payung tentu telah dipersiapkan mengingat jadwal nya pun telah padat diisi oleh berbagai pertemuan yang tidak penting namun harus tetap dilakukan.

Pelayan kafe tempat ia biasa menikmati kopi membawakan pesanan nya tepat waktu. Walaupun dengan kesan agak terburu-buru bahkan nyaris menumpahkan sedikit cairan hitam pahit favorit nya. Namun hal itu masih bisa dimaafkan mengingat selain dirinya orang-orang di luar sana berada pada kategori biasa.

Kesalahan selalu mereka lakukan sebagai tanda ketidakbecusan. Sulit untuk mempertahankan kesempurnaan disaat kebodohan selalu terlihat didepan mata.

"Aku hanya punya waktu lima belas menit untuk menemui mu. Kau tahu kan? Aku sangat sibuk. Tetapi karena kau adalah pasangan ku aku tetap berusaha untuk setidaknya bisa melihat wajahmu setiap hari."

Seperti biasa ucapan dilontarkan dalam nada tenang tanpa emosi didalam. Sesapan sesaat Jagat Ragah Shankara berikan pada cangkir kopi guna menikmati rasa pahit dari cairan hitam terkandung seraya menghirup aroma menenangkan yang selalu bisa memberi energi tambahan untuk melalui hari.

Di jam yang sama pertemuan mereka selalu terlaksana. Satu-satunya pembeda adalah tempat yang jadi pertemuan kerap berganti mengikuti suasana hati dengan durasi lima belas menit tidak lebih.

"Jadi menurut mu aku harus merasa berterimakasih? Kau tahu Jagat, ini sangat gila. Kau selalu meminta untuk bertemu di jam yang sama."

Ketidakpuasan tampak terukir jelas di wajah Idelia Leora Callista. Hal ini bukan sekali dua kali disuarakan oleh calon istrinya yang selalu merasa kurang dengan pertemuan mereka. Bukan berarti Jagat merasa terbiasa dengan semua ketidakterimaan tersebut, namun sebagai pasangan yang akan segera melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat pria itu tahu bahwa hal seperti ini bila dibiarkan akan memiliki dampak dalam hubungan mereka nantinya.

Jadi seperti yang pernah terjadi pada waktu lalu, kali ini pun ia akan memastikan bahwa sang tunangan bisa memahami sudut pandang serta kebiasaan nya yang selalu bergerak mengikuti aturan.

"Sejak awal aku selalu mengatakan padamu kalau ini adalah hidupku. Tolong berikan rasa pengertian mu sebagai seorang pasangan. Aku sadar waktu pertemuan kita selalu sedikit dan masih belum bisa memberikan hal-hal yang sekiranya kamu inginkan. Tetapi hal itu akan berubah setelah pernikahan kita nanti."

Akan tetapi tidak seperti harapan ketika mendengar penjelasan, Idelia justru merasa semakin marah. Manik mata abu-abu indah wanita itu kian menajam dengan dahi berkerut menampilkan ketidaksukaan.

"Apa yang akan berubah? Waktu pertemuan kita yang bertambah jadi setengah jam? Atau aku yang harus menyesuaikan kebiasaan mu dengan ikut membuat jadwal juga?"

"Aku akan senang kalau kamu juga melakukan hal yang sama."

"Bukan itu inti permasalahannya!"

Untuk sesaat Jagat terdiam, ia tidak menyangka tunangan nya tersebut akan berteriak pada dirinya dengan nada kelewat tinggi hingga membuat pandangan pengunjung lain ikut tertuju kearah mereka. Sebagian jelas merasa penasaran dengan pertengkaran, tetapi bagi Jagat hal itu tetaplah sebuah gangguan.

"Berhentilah. Kita bisa melakukan pembicaraan ini dengan tenang tanpa harus membuat orang lain mendengar isi percakapan."

"Jadi aku yang salah sekarang?"

"Ini bukan soal salah ataupun benar. Tetapi tentang ketidakpuasan mu yang tidak bisa aku mengerti." kata Jagat lagi guna memberi pemahaman agar perdebatan mereka mereda.

Meskipun hal tersebut tidak dapat menghilangkan kekesalan secara penuh namun sedikit banyak Idelia menurunkan kembali suaranya. Tak lagi bersikap seperti wanita yang kehilangan akal serta rasa malu.

"Kau tidak mengerti karena sejak awal yang kau pikirkan hanya lah dirimu sendiri." balas wanita cantik tersebut seraya menekankan jari diatas meja. Seolah memberi penekanan atas ucapan.

"Apa yang kau katakan? Tenangkan dirimu terlebih dahulu."

"Aku tenang, sangat tenang. Tetapi kau selalu saja membuatku merasa kesal dengan— segala jadwal bodoh mu yang tidak jelas. Memangnya itu masuk akal? Kau hanya memberiku waktu pertemuan sebanyak lima belas menit. Seperti katamu, kita ini pasangan. Tapi yang aku rasakan ini bahkan seperti sesi konsultasi."

"Lalu apa yang kau inginkan?"

"Tidak bisakah kita melakukan hal-hal seperti orang lain? Aku ingin kau meluangkan waktu untuk ku. Kita bisa pergi ke banyak tempat sambil mempersiapkan semua hal terkait pernikahan kita."

Helaan napas Jagat keluarkan setelah lama tenggelam dalam perdebatan. Ia tidak bisa mengerti mengapa wanita yang dipilihnya bahkan tidak paham akan konsep praktis. Lagipula pernikahan bukan lah sesuatu yang sepenting itu karena yang utama adalah mempertahankan hubungan mereka nantinya.

"Semua telah diatur dari jauh-jauh hari. Tidak ada lagi yang perlu dilakukan."

"Aku bahkan tidak bisa memilih gaun ku sendiri?"

"Tidak perlu, karena aku sudah mempersiapkan yang terbaik. Pilihan itu telah ditentukan sejak awal. Lagipula daripada merepotkan dirimu dengan hal-hal seperti itu kita bisa menggunakan waktu nya untuk kegiatan yang lebih berguna."

Namun lagi, Idelia kembali merasa tidak puas dengan apa yang telah ia jelaskan. Karena yang selanjutnya terucap dari bibir wanita tersebut ialah perkataan berupa, "Ini gila. Aku tidak tahu harus berkata apalagi."

"Apa masalah nya?"

"Kau ingin aku menjelaskan apa? Tentu saja masalahnya adalah—"

Belum sempat ucapan terselesaikan, waktu penanda yang terpasang di ponsel Jagat menyela pembicaraan mereka. Menandakan pula bahwa pria itu harus segera kembali ke perusahaan dan meneruskan segala pekerjaan yang tertunda.

"Waktu kita habis, aku harus pergi. Mari teruskan pembicaraan ini lain kali, Idelia." katanya kemudian bangkit hendak membayar seluruh tagihan atas pesanan.

Akan tetapi tidak seperti biasanya calon istrinya tersebut justru memutuskan untuk tetap duduk dan enggan beranjak dari kursi. Menuai tanda tanya dari Jagat yang tidak paham atas perlakuan.

"Kau tidak ingin pergi?"

"Tinggalkan saja aku sendiri."

Jelas hal itu bukan perkara baik. Mereka menjalin hubungan sudah bukan satu atau dua bulan lagi melainkan telah bersama selama dua tahun. Jadi ketika Idelia memutuskan untuk diam seperti ini maka itu tanda nya kemarahan akan berlangsung dalam waktu yang cukup lama.

"Aku akan menghubungimu nanti malam."

"Tidak perlu."

"Tidak, aku menginginkan nya. Jadi terima panggilan ku ya."

Helaan napas panjang tampak dikeluarkan sejenak oleh sang wanita sebelum akhirnya menganggukkan kepala dan menerima permintaan tersebut.

"Baiklah."

"Terima kasih. Aku pergi dulu." bertepatan dengan itu Jagat menjatuhkan kecupan sesaat pada kening Idelia. Lantas meneruskan sesi pembayaran yang tertunda sebelum akhirnya pergi meninggalkan kafe tempat mereka berdua berbicara.

Tentu saja ada waktu selama beberapa menit terbuang karena pembicaraan yang melewati perkiraan. Untuk hal itu Jagat sampai terburu-buru melajukan kendaraan demi bisa sampai tepat waktu di kantor nya.

Beruntung ia tidak terlambat meski harus melakukan beberapa usaha lain seperti berlari di sepanjang jalan. Beberapa pegawai lain bahkan sampai menatapnya aneh karena tidak terbiasa melihat atasan mereka berpenampilan berantakan dan berkeringat.

Namun semua itu tidak ia pedulikan. Yang terpenting adalah hubungan nya dengan Idelia tidak mengalami masalah apapun sampai tiba waktunya pernikahan mereka.

"Aku akan meminta Ega untuk menunda satu pertemuan agar bisa memiliki waktu lebih lama dengan Idelia. Beberapa hari terakhir sebelum pernikahan katanya adalah waktu yang riskan untuk orang-orang dilanda perasaan cemas serta keraguan. Apapun yang terjadi pernikahan kami tidak boleh sampai gagal."

Perfectly ImperfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang