21. Rumah Pohon di Hutan Roma

1.4K 199 73
                                    

Hazel mengerjapkan matanya, merasakan pusing yang menyerang kepalanya sehingga ia meringis kecil. Ia bersandar di dalam kandang besar tersebut dengan kaki kiri yang telah mati rasa.

Rasanya, Hazel ingin menangis dan berteriak sekuat mungkin untuk menyalurkan rasa sakitnya.

Kaki kiri nya hancur, ia lumpuh.

Marletta benar-benar menghancurkan tubuh nya hingga Hazel merasakan bahwa dunia tidak pernah berpihak kepadanya untuk memberikan kehidupan yang layak.

Di tengah-tengah ruangan yang gelap. Hazel mendengar suara pintu yang terbuka, ia tidak peduli. Batin nya terguncang ketika menyadari bahwa ia menjadi anak cacat seutuhnya.

"Aku tahu kau disana, Jackson." Ujar Hazel dengan suara serak.

Jackson tidak terkejut ketika Hazel dapat dengan mudah mengetahui kedatangan nya. Di tengah ruangan yang gelap, tanpa bisa melihat apapun dengan netra yang tidak berfungsi, Hazel cukup luar biasa untuk mengetahuinya dengan mudah.

Jackson berdiri tepat di hadapan kandang Hazel. Ia berjongkok untuk melihat wajah Hazel yang menundukkan kepalanya.

"Apakah kakimu baik-baik saja?" Tanya Jackson pelan.

Hazel tertawa lirih. "Aku tidak pernah baik-baik saja, Jackson." Ia menolehkan pandangan ke samping, tidak ingin mengarah kepada Jackson. "Marletta sudah mendapatkan keinginan nya untuk membuat kaki ku hancur dan lumpuh." Lanjut nya dengan suara serak, tenggorokan nya terasa sakit dan kering akibat terlalu banyak berteriak.

Jackson terdiam sejenak, ia duduk di hadapan kandang dan mengeluarkan kotak obat.

"Mendekatlah sedikit, aku akan mengobatimu," pinta Jackson pelan.

"Kau akan mengobatiku lalu membiarkan aku terluka lagi? Percuma saja, Jackson." Hazel berdecih dan memejamkan mata nya. "Aku hanya ingin cepat mati, itu saja." Ujarnya.

Jackson menggeleng pelan, mata nya mulai memerah karena menahan air mata. "Jangan mengatakan seperti itu," gumam nya kecil.

"Hidupku tidak berarti, Jackson." Kekeh Hazel sendu. "Aku hanya manusia yang dijadikan alat perang sebuah negara, terlebih lagi untuk negara yang membenci tempat kelahiranku sendiri."

"Maafkan abangku, Hazel." Lirih Jackson serak.

Jackson Marletta, si bungsu dari keluarga dengan nama belakang Marletta. Keluarga terpandang dan berkuasa di Inggris. Jackson adalah tangan kanan kepercayaan sang Abang yang lebih dikenal dengan nama Marletta dari pada Alistair.

"Aku membenci kalian, keluarga Marletta." Rintih Hazel menarik napas bergetar. "Kalian tidak pernah merasa cukup. Menyakiti banyak orang hanya untuk sebuah tanah yang luas, mem-bumihanguskan banyak manusia tidak bersalah hanya untuk kepuasan duniawi dan harta," cerca Hazel dengan setiap getaran di kalimat nya.

Jackson menggeleng pelan. Ia tidak ingin Hazel memandang nya sebagai seseorang yang jahat dan sama dengan keluarga nya yang lain, ia tidak ingin Hazel membenci nya.

"Hazel, jangan benci aku. Itu menyakitkan," lirih Jacskon dengan air mata yang berhasil turun. "Aku mohon, jangan membenciku." Rintih nya sendu.

"Aku juga tidak ingin membencimu, Jackson. Tapi kau selalu diam saja ketika melihat Marletta membunuhku secara perlahan," tawa Hazel terdengar begitu menyakitkan. "Jika kau Ayah angkatku maka Ayah mana yang tega melihat putri nya disakiti orang lain?"

Jackson menangis di hadapan Hazel. Ia melihat betapa hancurnya netra itu ketika menatap nya. Masih teringat dengan jelas di memori nya ketika menggendong bayi perempuan yang bahkan masih sangat kecil namun sudah menjalani takdir yang menyakitkan.

[ii] The Seven Sons, D² (Delight & Dolour) || NCT DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang