Hari ini Aqueena memutuskan untuk masuk kuliah seperti biasa. Gadis itu cukup terkejut ketika dosen berkata kalau dirinya sudah tidak masuk hampir sebulan. Untuk itu Aqueena disuruh mengikuti program bimbingan yang dibimbing langsung oleh senior agar dapat mengejar ketertinggalan. Gadis itu sebenarnya malas harus terus berada di kampus sepanjang hari. Aqueena lebih suka belajar sendiri ketimbang belajar bersama orang lain.
Setelah kembali dari rumah pasangan tua aneh, Aqueena tak kembali ke rumah utama. Gadis itu masih mengungsi di apartemen karena masih tak mau bertemu Harry dan neneknya. Tentu saja semua orang melarangnya, namun Aqueena beralasan bahwa apartemen yang ditempatinya berjarak lebih dekat ke kampus. Semua orang termasuk Bella tak bisa membantah Aqueena, karena itu adalah keinginannya. Sekalinya Aqueena ingin melakukan sesuatu, siapapun takkan bisa melarangnya.
Setelah terbangun di rumah milik pasangan tua aneh, Aqueena langsung dibawa pulang oleh neneknya. Bahkan gadis itu tak sempat bertemu Arthur sehingga Aqueena tak tahu kondisi Arthur saat ini.
Setelah kembali dari sana, Aqueena merasa dirinya lebih sering berhalusinasi. Aqueena terus merasa ada suara yang muncul dari kepalanya. Suara itu kadang memberi bantuan seperti mengingatkan Aqueena bahwa dompetnya ketinggalan. Suara itu juga memperingatkan Aqueena akan bahaya seperti adanya preman di ujung jalan sehingga Aqueena bisa menghindar. Selain suara itu, Aqueena juga masih ditempeli gadis bergaun merah yang bernama Ellen. Aqueena tak risih dengan keberadaan gadis itu, sebab bagi Aqueena dirinya merasa punya asisten pribadi yang bisa disuruh-suruh.
"Menurutmu apa Arthur masih hidup?"
Ellen mendesah pelan. Entah sudah keberapa kalinya Aqueena bertanya pendapat Ellen tentang kondisi Arthur. Gadis itu hanya bisa menghela napas sembari mengingatkan Aqueena bahwa dia tak perlu khawatir.
"Pangeran Arthur baik-baik saja. Dia siuman lebih dulu darimu. Dia tak sempat menemuimu karena adik kembarannya meninggal."
Entah kenapa, mendengar kabar adik kembaran Arthur meninggal membuat dada Aqueena sedikit bergetar. Setiap mendengarnya entah kenapa Aqueena merasa sedih, padahal dirinya tak tahu rupa bahkan tak bernah bersua.
"Kuharap Arthur baik-baik saja."
Aqueena lagi-lagi menghela napas berat. Entah kenapa Arthur selalu membuatnya tak bisa berhenti memikirkan lelaki itu. Padahal sebelumnya Aqueena tak pernah seperti ini.
"Sekarang kita mau kemana?" tanya Ellen sebab Aqueena sepertinya tak mengarah ke kelas program bimbingan.
"Pulang." Aqueena menjawab lesu. "Hari ini aku lelah."
"Tapi bagaimana dengan kelasnya?"
"Aku bisa beralasan sakit."
Ellen menghela napas lelah. "Baiklah. Aku saja yang menyetir."
"Tidak usah." Aqueena terus melanjutkan jalan. "Kita jalan kaki saja."
"Terus bagaimana dengan mobilmu?"
"Biarkan saja di parkir. Nanti malam kita bisa mengambilnya."
Ellen hanya mengangguk. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan selain menuruti kemauan Aqueena. Ketika perasaan Aqueena memburuk seperti sekarang, Ellen tak bahu bagaimana harus menghiburnya. Selama ini Ellen hanya berkutik pada latihan. Setiap hari dirinya tak pernah tenang karena tahu bahaya akan datang sewaktu-waktu, karena itulah Ellen tak tahu cara berkomunikasi dengan baik apalagi cara membuat perasaan seseorang menjadi lebih baik.
"NANA!!!"
Di tengah perjalanan, tiba-tiba Aqueena dikejutkan dengan sebuah sahutan yang memanggil namanya. Tentu saja Aqueena tahu itu suara siapa. Gadis itu sempat berdecak sebelum membalikkan badan. Sementara Ellen langsung melarikan diri dengan berbaur di keramaian. Jika Ellen bertemu dengan Jimmy, tentu saja identitasnya akan ketahuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Magic Stone: Red Pearl
FantasySeason 2 dari seri 'Magic Stone' ______ __ _ Dia... Siapa sangka, dia...belum pergi! -Arthur- ___ ____ ______ ©Copyright 2018