4. Penglihatan Istimewa

4.8K 562 53
                                    

Berlin, Jerman, 02.34 AM

Gadis itu berbaring dalam balutan selimut tebal menghadap langit-langit kamarnya yang berkilauan dihiasi bintang-bintang yang menyala dalam kegelapan. Nyala remang lampu kamar membuatnya tak mampu memejamkan mata sejak tadi. Seharusnya, sejak tadi gadis itu sudah dapat memejamkan matanya mengingat dia adalah salah satu dari sekian banyak orang yang menghargai waktu tidur. Namun berbeda dengan hari ini, hari yang begitu melelahkan dan begitu... aneh.

Sejak tadi gadis itu belum terlelap meskipun sudah memejamkan mata. Dia terus teringat kejadian aneh yang terjadi padanya. Gadis itu ingin bercerita, namun di sini, di rumah ini tak ada siapapun kecuali dirinya yang setia menjadi penghuni rumah. Meskipun terkadang seorang asisten rumah tangga datang bersih-bersih, namun gadis itu masih saja kesepian. Hal ini membuatnya memendam lelah dan letihnya yang ingin sekali dibaginya dengan seseorang.

Matanya terus menelisik bintang-bintang yang menyala di langit-langit kamarnya. Senyumnya perlahan mengembang ketika otak warasnya meresapi banyaknya bintang-bintang penghias kamar. Meskipun bukan bintang sungguhan, penampakan langit malam buatan itu mampu membuatnya terhibur untuk sesaat. Seharusnya di usia yang hampir memasuki kepala dua, tak sepatutnya dia masih mengoleksi bintang-bintang bercahaya di kamarnya. Namun entah kenapa seseorang tak menginginkan dirinya mencopot bintang-bintang itu dari langit-langit kamarnya.

"Ternyata bintang bisa kasih inspirasi," ujarnya sembari menjentikkan jarinya. Lalu sesaat kemudian dia tergerak untuk meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. "Kayaknya itu bocah sudah tidur jam segini, tapi masa bodoh lah yang penting aku mau cerita."

Jarinya bergerak di atas layar ponsel, menscroll sederetan kontak untuk mencari nomor ponsel seseorang yang menjadi tujuannya. Setelah melihat sebuah nama yang tertera di sana, dengan senyuman miring yang tercetak di wajahnya, gadis itu segera memencet ikon telepon untuk menyambungkannya dengan seseorang via suara, karena dia tahu seseorang itu takkan suka jika dia melakukan panggilan video ketika wajahnya telah kusam tanpa make up, apalagi adanya minyak berlebih yang dapat membuat orang itu stress setengah mati.

Terdengar dering beberapa kali, namun tak kunjung terdengar suara seseorang yang menjadi tujuannya. Bahkan panggila teleon diakhiri dengan terdengarnya suara operator yang menandakan panggilan teleponnya tidak dijawab.

"Kau kira aku bakal nyerah? Dasar artis rempong. Biar bagaimanapun aku tetap mau cerita." Sembari memencet layar ponselnya menggunakan telunjuk, gadis itu memasang tampang bengis. Dia berusaha menelepon kembali nomor tujuannya berkali-kali hingga suara beratpun akhirnya terdengar menyahut dari seberang sana.

"Hallo?"

"Bebel. Belum tidur ya. Aku mau cerita, nih. Dengerin ya, jangan tidur." Tanpa basa-basi, langsung saja dia menyatakan tujuannya.

"Kau masih waras nelpon jam segini? Paris masih larut malam, astaga!"

"Iya, aku tau. Aku sengaja menghubungimu. Aku Cuma ingin cerita. Sebentar. Nggak lama kok."

"Kau bisa cerita kapan-kapan. Aku harus tidur, besok ada pemotretan pagi. Aku tak bisa membiarkan mataku berlingkaran hitam."

"Dengerin sebentar, Bel. Aku butuh cerita." Gadis itu memelas berharap Bella yang sekarang sedang sibuk membina karier mau mendengarkan keluh kesahnya.

"Nana, besok aku harus kerja. Aku ada pemotretan pagi-pagi buta buat ambil background matahari terbit. Kalau aku mendengarkan cerita panjang lebarmu, mataku bisa berkantung."

"Iya, tapi—"

"Sudahlah besok saja. Selesai kerja aku akan menelponmu. Kita sambung bertiga sama Papa. Sekarang aku ngantuk. Mau tidur dulu. Bye!"

The Magic Stone: Red PearlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang