18. Arthur is Dead? (3)

4.2K 421 120
                                    

Mari vote sebelum baca 😇 kalo udah baca komentar ya

Koreksi typo juga

Selamat membaca

👸👸👸

Seminggu telah terlewati. Arthur tak kunjung menunjukkan tanda-tanda kehidupan pada dirinya. Hal itu membuat semua orang khawatir, tak terkecuali Aqueena. Gadis itu tak pernah bosan menunggu dan terus mengkhawatirkan Arthur yang terbaring di ranjang dengan berbagai peralatan medis menempel padanya.

Memulai aktivitas baru dan kembali ke kampus tak ingin dilakukan Aqueena sebelum menyaksikan Arthur membuka matanya. Aqueena tahu pasti bahwa apa yang dilakukannya sangat tidak wajar.

Berkali-kali Aqueena mencoba meyakinkan dirinya bahwa hubungan antara dirinya dan Arthur tak lebih dari sekedar kenalan, atau seseorang yang baru ditemuinya, lebih tepatnya seseorang yang sekali lihat langsung melekat dalam hatinya.

Ya, sejak bertemu si iris biru di jalan waktu itu, Aqueena masih ingat jelas bagaimana tatapan itu begitu menyentuh hatinya. Betapa tatapan itu membuat jantungnya berdebar tak menentu. Yang berujung membuat dirinya seperti bucin pengejar pangeran berkuda putih.

"Masih menunggu?"

Suara itu membuyarkan lamunan Aqueena. Kepalanya yang tertunduk terangkat dan menoleh ke arah pintu hanya untuk menyaksikan seseorang yang berdiri di kusen pintu sembari menggigit buah pir.

Lelaki itu melangkah mendekat sembari terus mencomot buah pir tanpa peduli tangannya yang telah teraliri air yang berasal dari buah pir. Cukup mengesankan dan... cukup bodoh.

"Mau?"

"Tidak, terima kasih."

"Kau galak!"

"Memangnya kenapa?!"

"Makan dulu sana, ada mie instan!"

"Tidak, terima kasih!"

"Mau makan bubur? Atau makan di café? Aku yang traktir!"

"Tidak, terima kasih!"

"Mau makan es krim?"

"Tidak, terima kasih!"

Fischer menghela napas berat. Usahanya untuk membut Aqueena setidaknya menggigit sedikit makanan hanya sia-sia belaka. Aqueena masih keras kepala seperti dulu. Ya, itulah sifat alamiah yang dimiliki gadis itu, dan hal itu cukup mampu mengundang emosi.

"Es krim cokelat bertabur chocochip sepertinya enak. Apalagi bertabur kacang." Fischer berpikir sejenak. "Sayang kalau dilewatkan."

"Apa maumu?!"

"Aku mau makan es krim."

"Makan sendiri!"

"Maunya ditemani!"

"Minta Bella atau Orlando!"

"Maunya ditemani kamu!"

DEG

Entah mengapa, Aqueena merasa lelaki yang akrab disapa Fischer itu sedang meluncurkan rayuan maut. Bodohnya, jantung Aqueena malah berdebar mendengar rayuan murahan itu.

"Kau pernah dengar es krim cair?"

"Apa itu?" Fischer mengerutkan kening. "Kalau cair bukankah namanya sudah berganti menjadi air?"

"Pintar!" Aqueena menyeringai. "Apa kau mau kucairkan di sini? Atau mau kulelehkan?

Ficher menelan susah salivanya. Seringaian dan tatapan Aqueena sungguh menyeramkan hingga membuat Fischer bergidik. Tatapan itu pernah disaksikannya dahulu. Tatapan yang membuat siapapun melihatnya berpikir bahwa gadis itu tak ubahnya seperti iblis perempuan penghisap darah.

The Magic Stone: Red PearlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang