"Apa maksudmu?" tanya Gian mendekati Yata. Ia memandang wajah Yata yang akhirnya berani mendongak.
Tatapan lukanya membuat Gian tertegun, itu yang selama ini Gian tidak pernah sadari kini tergambar jelas dengan senyuman mirisnya untuk diri sendiri.
"Kamu menolak pernikahan ini, dengan cara kamu memperlalukan aku sangat buruk, berharap aku akan lari ataupun meminta pembantalan. Kamu memanfaatkan situasi agar tidak disalahkan," ujarnya dengan nada tenang.
Gian yang tidak bisa mengelak fakta juga hanya terdiam dengan mulut tertutup rapat.
"Setelah menikah kamu melakukan kekerasan. Berharap kalau aku akan menyerah kepada pernikahan ini, kan?" Yata memandang tepat di mata Gian.
"Tapi aku tidak bisa. Sehari setelah perlakuan buruk kamu aku meminta batal menikah, tapi orang tuaku melarang dengan keras. Setelah menikah aku tidak punya pilihan karena proyek yang aku tangani butuh suntikan dana. Aku meminta bantuan kepada Kak Nendra. Aku tidak sanggup lagi harus menanggung luka fisik maupun batin."
Yata menangis, tepat disaat air matanya jatuh, Yata langsung menundukkan kepalanya.
Gian juga dibawa binggung sekarang. Berita tentang betapa baiknya keluarga Wilasa telah tersebar di mana-mana. Tapi bagaimana mungkin sekarang Yata berkata telah dipukuli ayahnya sendiri.
Mau tidak percaya, tapi luka di punggung Yata itu nyata. Beberapa bekas pukulan saat malam pertama juga terlihat jelas di setiap titik badan Yata.
Apa semua kebaikan keluarga Wilasa hanya kepalsuan saja?
Gian akhirnya menatap Yata dengan segala keingintahuannya.
"Aku diadopsi bukan sebagai anak di rumah itu, tapi bayangan kakak aku yang sakit-sakitan. Aku harus sempurna, menjadi seseorang tanpa cela. Di mana jika ada satu kesalahan, maka ribuan pukulan dan cambuk melayang."
Gian meringis sendiri mendengar cerita Yata, hingga ia reflek memeluk Yata erat. Usapan lembut dibahunya juga Gian berikan.
"Kamu jangan berpikir saat menjadi bayangan kakak aku, fasilitas lengkap aku diberikan penuh? Nyatanya untuk tinggal saja aku hanya diberikan gubuk kecil di belakang rumah megah itu. Gaji aku juga pas-pasan, sama rendahnya dengan upah kariawan biasa. Tidak peduli apa yang aku kerjakan, proyek sebesar apa yang aku selesaikan, upahnya selalu dibawah standar." Yata semakin menangis mencurahkan kesedihannya. Ia benar-benar ingin curhat sekarang.
Tapi Gian masih senantiasa memeluk serta mengelus punggung Yata agar lebih lega.
"Jadi setelah ini jangan berpikir dengan menyakiti aku kamu bisa minta cerai. Karena aku tidak pernah punya hak apapun."
"Tidak, kamu jangan berpikir hal itu lagi. Mulai sekarang aku tidak akan pernah menyakiti kamu lagi." Gian melepaskan pelukannya, menghapus air mata Yata dengan jari tangannya sendiri.
Melihat Yata yang semakin tidak enak keadaannya, Gian membaringkan Yata, memakaikan selimut karena Yata memang belum memakai bajunya.
"Kamu minum obat dulu, ya," sarankan Gian yang dibalas anggukan oleh Gian.
"Obatnya ada di laci," ucap Yata yang ingin meminum obat rutinnya. Selama obat itu diminum rutin, Yata akan selalu merasa lebih baik.
Tapi sepertinya Gian malah binggung, saat membuka laci nakas di samping tempat tidur Yata, ia melihat ada banyak obat-obatan di sana.
"Kamu sudah ke dokter? Tapi kenapa punggung kamu tidak diobati?" tanya Gian bertubi-tubi.
Yata yang lemah menggeleng saja. Selain ia merasa tidak beres dengan tubuhnya sekarang, Yata lelah sehabis menangis sambil menceritakan kepahitan hidupnya.
Karena sadar kondisi Yata juga tidak memungkinan menjelaskan sekarang, Gian akhirnya diam.
Untuk obatnya setiap wadah Gian ambil satu butir. Gian membantu Yata minum sampai obat-obat itu tertelan semua.
Yata juga langsung tertidur setelah beberapa saat.
Maaf, aku tidak pernah tahu lukamu sebesar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories (END)
FanfictionSetelah terbangun dari koma Farsan tidak mengingat apa-apa. Ingatannya seperti kertas putih tanpa goresan tinta. Hanya ada seorang pria yang dengan setia merawatnya, mengaku sebagai kekasih Farsan . Namun, di hari pertunangan mereka Farsan kecelaka...