Gian sungguh merasa kesal. Ia pulang tidak melihat ada masakan Yata di atas meja. Apa mungkin suaminya itu sekarang sekalian tidak pulang.
Benar-benar sialan, Gian ingin melarang tapi tidak tahu bagaimana caranya. Hatinya selalu dongkol saat ditinggal Yata, tapi setiap kali Yata minta izin, Gian harus mengiyakan atau Yata tahu kalau dirinya mulai merasakan sesuatu duluan kepada Yata. Padahal waktu itu Gian sudah sangat yakin dirinya tidak akan pernah suka kepada Yata.
Karena kesal Gian tidak makan. Lagi pula, tadi saat nongkrong ia makan beberapa hidangan ringan. Tapi jika ada makanan Yata di atas meja, Gian pasti dengan senang hati makan.
Tepat saat Gian masuk ke dalam kamar, Yata melihat Gian sedang berbaring di kasur dengan wajah lelah.
Senyum Gian tiba-tiba merekah. Gian mengambil kesempatan untuk memandangi wajah Yata dari dekat. Sangat imut, tapi kenapa rona wajahnya hilang, terkesan pucat seperti orang sakit keras.
Namun, sepertinya Yata peka. Tanpa diduga Yata langsung membuka matanya, membuat Gian menjauhkan wajahnya sambil memandang acak kamar itu.
"Apa ini sudah malam? Maaf aku belum masak," ucap Yata buru-buru menyibak selimut. Harusnya Yata tidak sepulas ini, tapi karena faktor badannya yang kurang sehat serta mimisan hebat tiga kali sehari ini, Yata benar-benar lemas.
Gian menahan tangan Yata yang mau turun dari ranjang dan siap-siap istiharat. Raut wajahnya datar tanpa ekspresi membuat Yata binggung maksud Gian memegang tangannya.
"Pelayan sudah masak, dan aku tidak lapar." Gian sedikit mendorong badan Yata agar berbaring telentang lagi. "Setelah melihatmu di kamar, ada hal lain yang ingin aku lakukan."
Gian mencium bibir Yata tanpa ba bi bu. Walaupun saat malam pertama Gian sangat kasar, hari ini hatinya mengatakan kalau Yata adakah benda rapuh yang tidak bisa dikasari seperti itu.
Mau tidak mau Yata hanya menerima, ia membiarkan Gian memasukkan lidahnya ke dalam mulut Gian tanpa halangan. Ciuman panas itu benar-benar mengairahkan kedua pihak.
Namun, sebelum Yata kehabisan oksigen, Gian melepaskan cumbuan mereka. Gian sedikit puas memandang Yata yang berantakan. tangannya dengan cepat membuka satu-persatu kancing kemeja Yata, dan membalik tubuhnya agak lembut.
Gian ingin menelanjangi Yata secara tidak sabaran. Tapi pada saat baju Yata berhasil ditarik, bukan hanya bekas luka lama yang terlihat, tapi luka baru yang masih menganga, dengan darah kering dibajunya.
Gian syok, ia kehilangan gairah dan menjatuhkan kemeja Yata begitu saja di lantai.
"Siapa yang memukulmu?" Gian berkata lirih, merasa tidak percaya melihat luka Yata yang mulai terlihat kalau tidak pernah dirawat. Tadi saat berciuman Gian juga merasakan napas serta kulit Yata panas, jadi sekarang Gian takut luka Yata enfeksi.
Perlahan Yata membalik badannya, duduk di bibir kasur dengan kepala menunduk.
"Siapa yang berani pukuli kamu, Yata?!" Gian tidak lagi bisa menahan emosinya disaat tahu orang yang telah menjadi pasangannya disakiti orang lain.
Tapi Yata masih tidak bergeming di tempatnya.
Gian yang geram langsung menjepit dagu Yata, memaksanya untuk mendongak. "Cepat katakan, biar aku kasih pelajaran orang itu!"
"Buat apa kamu peduli?" Yata menunjukkan senyum sinis sekaligus miris untuk dirinya sendiri. "Aku matipun kamu akan sangat senang, bukan?"
Ini hanya luka fisik, bagaimana dengan hatiku yang telah berdarah dan penuh darah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories (END)
FanficSetelah terbangun dari koma Farsan tidak mengingat apa-apa. Ingatannya seperti kertas putih tanpa goresan tinta. Hanya ada seorang pria yang dengan setia merawatnya, mengaku sebagai kekasih Farsan . Namun, di hari pertunangan mereka Farsan kecelaka...