Yata terus menyeka darah yang mengalir dari hidungnya. Matanya bergerak gelisah saat menyadari darah yang keluar akibat mimisna itu benar-benar tidak sedikit.
Beberapa kali Yata hampir oleng saat tenanaganya terkuras habis karena lemas. Wajahnya yang sudah semakin pucat kini menambah penampilan Yata sebagai orang sakit keras.
Karena hampir pingsan Yata terduduk di lantai dingin kamar mandi dengan tubuh menyeder pada tembok. Napasnya benar-benar terdengar pendek, hingga ketukan pintu membuat Yata membuka mata lebar-lebar lagi.
"Yata, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Gian penuh dengan nada khawatir.
Sudah hampir setengah jam Gian di kamar mandi. Pantas saja kalau Gian merasa curiga.
Dengan helaan napas panjang, Yata berusaha berdiri lagi dan mandi secepat kilat.
Saat Yata ke luar, dia sudah mengenakan setelah kantor rapi. Tidak lupa dengan wajah pucat pasi seperti mayat hidup berjalan.
Gian yang melihat itu jelas terkejut. Penampilan Yata setelah keluar dari kamar mandi tidak bisa dikatakan baik-baik saja.
"Kamu mau ke kantor? Dalam keadaan sakit?" Gian bertanya setelah memperhatikan penampilan Yata.
setelah semalaman seperti orang sekarat, bahkam Gian sempat melihat Yata mimisan hebat hingga sekarang ia sudah berpakaian kantor padahal masih terlihat sakit.
Tapi Yata hanya mengangguk, berjalan menuju nakas samping tempat tidurnya.
"Aku ada urusan, ini tidak bisa ditunda. Dan setelah ini semuanya akan selesai, aku tidak aada lagi masalah," ucap Yata merapikan berkas-berkas kantornya ke dalam tas.
Sementara Gian tidak menyerah untuk membujuk Yata istirahat. "Aku hubungin kantor kamu, biar mereka nggak akan macem-macem kalo kamu izin hari ini."
Yata menggeleng. Ia masih tetap merapikan dokumennya. "Mereka nggak akan peduli."
"Kamu sakit, dan perlu istirahat." Gian menghentikan pergerakan tangan Yata, tapi langsung ditepis oleh sang empu.
Yata terlihat kesal, mungkin bawaan sakit dan lelah, moodnya benar-benar hancur saat keras kepalanya dibalas oleh Gian.
"Aku tahu kamu cuma kasihan."
Deg.
Gian langsung membeku, ada sakit di dadanya yang membuat dia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Yata berjalan melewati Gian begitu saja, memandang Gian pun tidak. Hingga tangannya berhasil menyetuh gagang pintu, Yata bersuara tanpa menoleh.
"Pagi ini aku nggak masak, kamu bisa makan masakan pelayan."
***
Jam makan siang adalah waktu istirahat. Kesepakatan berhasil dicapai dengan Nendra, dan sekarang ia bisa pulang ke rumah.Setelah ini masalahnya akan selesai. Entah kenapa perasaannya sedikit lega, seperti dirinya telah melewati banyak masalah berliku dan ini akhir segalanya.
Yata benar-benar merasakan beban di dadanya lenyap, ujiannya berakhir, tujuan apapun diotaknya hilang total. Hatinya benar-benar merasa senang.
Hari ini Yata ingin sekali ke makam sang kembaran. Ia akan bertemu dan mengobrol bersama.
Tapi dipertengahan jalan, Yata merasakan darah mengalir dari hidungnya itu lagi. Buru-buru Yata meraba jok mobilnya untuk mencari tisu, tapi tangannya tidak menemukam apapun.
Terpaksa di jalanan yang cukup lenggang itu Yata menoleh ke samping, mencari-cari tisu hingga matanya menangkap tisunya telah jatuh ke kolong.
Yata menunduk mengambil tisunya susah payah, tapi setelah berhasil dan posisi badannya sudah kembali. Ia melihat dengan jelas Farsan, kakak iparnya menyebrang jalan tiba-tiba, hingga membuat Yata buru-buru membanting stir.
Tapi terlambat, badan mobil tetap mengenai Farsan, dan menyebabkan mobilnya semakin tidak terkendali hingga berguling-guling di tengah jalan.
Di detik terakhir mobil sudah berhenti, Yata hanya melihat orang-orang berkerumum memandangnya iba. Hingga tetes demi tetes darah mulai membuat wajahnya basah.
"Ini benar-benar hari terakhir, terima kasih Tuhan," pikir Yata yang kemudian semuanya gelap.
***
Gian menjatuhkan cangkir yang ia pegang. Memandang hasil laporan medis yang ia temukan di lemari Yata.Gian tidak sengaja membuka lemari Yata, dan menemukan surat ini terjatuh begitu saja. Karena penasaran Gian membawanya ke bawah sambil meminum kopi.
Gian baru turun dari kamarnya sekitar jam dua belas siang, karena dirinya memutuskan bekerja dari rumah.
Tapi lihat kenyataan pahit apa yang sekarang dia temukan. Surat pernyataan dari rumah sakit yang menunjukkan betapa parahnya sakit Yata saat ini.
"Kenapa kamu nggak cerita tentang ini juga Yata?" gumam Gian yang mulai frustasi dan mengacak rambutnya dengan kasar.
Aku senang jika ini akhir. Karena terlalu lelah jika harus mengarungi dunia yang jahat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories (END)
Fiksi PenggemarSetelah terbangun dari koma Farsan tidak mengingat apa-apa. Ingatannya seperti kertas putih tanpa goresan tinta. Hanya ada seorang pria yang dengan setia merawatnya, mengaku sebagai kekasih Farsan . Namun, di hari pertunangan mereka Farsan kecelaka...