3. Rencana

273 49 5
                                    

Shanin masih mengambil pulpennya saat sebuah gulungan kertas mengenai kepalanya. Shanin hanya menggeleng kecil dan memilih mendiamkannya. Hingga saat dirinya mengambil penghapus. Bola-bola kertas itu kembali mengenainya dengan beruntun dari berbagai arah. Suara tawa pun langsung menggelegar saling bersahutan.

Shanin memejamkan mata. Menarik napas dalam sebelum bangkit lalu menghampiri Zio. Tangan Shanin mengepal dengan raut kesal yang terpancar.

"Kenapa?" tanya Zio dengan raut ramahnya dan tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"Kenapa kamu lakuin ini sama aku?" tanya Shanin dengan pancaran tidak suka yang begitu jelas.

Kening Zio berkerut samar, wajahnya pun meneleng, berpura-pura tidak mengerti.

"Aku tau kamu dalang di baliknya. Karena aku nolak kenalan kamu, kamu harus sampe kayak gini?"

Zio menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Ngelakuin apa?"

Shanin mengepalkan tangannya. "Berhenti main-main. Aku tau kamu dalangnya. Kamu yang bikin mereka lakuin hal tadi ke aku."

Zio memandang lembut dengan senyuman kecil. "Kamu salah paham. Dari tadi, nggak ada yang lakuin."

"NGGAK USAH BOHONG!"

Selanjutnya Shanin memekik kesakitan begitu dari belakang seseorang menjambak rambutnya

"Ngelunjak banget, lo bitch!" Gadis yang menjambak Shanin itu menatap Shanin tajam.

"Berani-beraninya lo kayak gitu ke Zio. Emang lo siapa, hah?" hardiknya  dengan tangan yang semakin menarik. Shanin hanya sendirian, tidak akan ada yang membantu.

"Lepasin!" Shanin mencoba menarik rambutnya, tapi tenaganya kalah.

"Yang salah itu lo! Zio udah bela-belain biar nggak kena ospek, tapi lo malah sok kecantikan dan kurang ajar sama dia. Dasar nggak tau diuntung!"

"Otak kejahatan, terus dia mutusin buat nggak jahat, itu bukan pahlawan."

"Banyak omong banget sih!" Gadis itu menarik rambut Shanin lebih kuat. Sampai-sampai Shanin mengeluarkan air mata karena sakit.

"Stella cukup."

Hanya kalimat senderhana, tapi gadis yang bersemangat tinggi menjambak Shanin itu tiba-tiba melepaskan begitu aja.

Shanin semakin yakin jika semua orang-orang di kelas ini adalah penyembah pria itu. Mudah tunduk hanya dengan kalimat sederhana saja.

"Gue nggak mau liat pem-bully-an," ucap Zio yang kemudian membuka bukunya.

Semua orang di kelas itu, yang semula memperhatikan Shanin, secara spontan kembali pada kesibukan masing-masing. Seolah keberadaan Shanin bukan untuk dianggap

Benar-benar kelas yang gila.

oOo

Shanin tengah menikmati makan malamnya di sebuah restoran yang tidak jauh dari lokasi apartemennya. Sejak Seria meninggal, Shanin memutuskan untuk tinggal di luar. Selain terlalu banyak kenangan, rumah itu terlalu luas untuk Shanin tinggali sendirian.

Terlebih, dirinya yang belum terbiasa dengan kota ini, bagaimana kehidupannya, keputusan tinggal di luar cukup membantu. Shanin banyak melihat orang-orang.

Ponsel Shanin berbunyi, menampilkan sebuah pesan dari Anne.

Tante Anne:

Hari ini Zio pulang ke apartemen.

Keputusan tinggal di luar memang keputusan Shanin sendiri, tapi lokasi apartemen yang Shanin pilih disesuaikan dengan rencananya. Shanin memilih gedung yang sama dengan unit Zio. Meski pria itu ternyata tidak menetap di sana, sudah lebih dari sebulan Shanin menempati, baru sekarang Shanin mendengar Zio datang ke unitnya.

Untitled MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang