11. Kesepakatan

235 47 8
                                    

"Orang licik mudah curiga. Mengada-ada hanya akan membuat dia semakin cepat tau kita berdusta. Beri dia fakta yang sebenarnya, maka dia akan kebingungan sendiri akan apa yang sebenarnya terjadi."

Shanin mengerutkan kening begitu selesai membaca beberapa kalimat dari buku di tangannya. Shanin menutupnya kemudian membalik antara sampul depan dan belakang dalam beberapa kali.

"Buku yang lumayan bagus."

Shanin pun menyimpan buku itu ke atas meja lalu berjalan menepi ke arah jendela. Matanya menatap nyalang pada titik-titik air yang menempel pada jendela.

"Aku benci hujan," ucap Shanin dengan raut yang terlihat hampa.

Tidak ada kenangan baik tentang hujan dalam ingatannya. Hanya ada satu yang selalu terpatri dengan kuat. Yaitu tentang ayahnya, yang selalu menyisakan sesak yang teramat dalam dadanya.

Ponsel Shanin berbunyi. Gadis itu pun kembali ke meja lalu mengangkatnya.

"Iya, Tante?"

"Maaf, Sayang. Tante ganggu kamu nggak?"

"Nggak kok. Kenapa?"

"Tante dapet kabar, kamu ... jadi pesuruh Zio?" Suara Anne terdengar hati-hati.

Shanin tertawa kecil. "Bukan pesuruh Tante, Shanin cuma bawain tas Zio kok. Kayaknya orang yang ngasih Tante info ngelebih-lebihin aja."

"Sayang." Anne memanggil lembut. "Kamu tau, kamu bisa berbagi semuanya sama Tante. Kalau kamu kesusahan, jangan kamu pendem sendiri. Certa sama Tante, kita bareng-bareng cari solusi yang lebih baiknya."

Shanin tersenyum kecil. "Shanin beneran nggak papa, urusan sama Zio Shanin bisa tangani sendiri. Sejauh ini Zio nggak sekejam kata-kata orang itu. Zio bahkan nggak pernah mukul Shanin sedikit pun. Jadi Tante tenang aja ya?"

Terdengar helaan napas berat dari sana.

"Tante udah sangat membantu Shanin dengan urus perusahan Papa. Shanin tau sekarang Tante lagi kesusahan karena perusahaan lagi nggak baik-baik aja. Tante udah banyak ngelakuin hal buat Shanin. Shanin nggak mau Tante terus kerepotan. Jadi, percaya sama Shanin ya? Shanin baik-baik aja kok. Shanin bisa tanganin ini."

Bel di depan berbunyi yang langsung membuat Shanin tahu siapa pelakunya.

"Zio datang, Tan. Teleponnya Shanin tutup dulu ya."

"Iya. Hati-hati ya, Sayang."

Shanin memasukkan ponselnya pada saku lalu bergegas ke arah depan. Dia membuka pintu dan pria jangkung itu berdiri di sana.

"Nggak keluar buat makan?"

Shanin menggeleng. "Hujan."

"Ikut," ucap Zio yang berkesan sebagai perintah.

Shanin pun tidak menolak dan hanya mengikuti Zio yang mulai melangkah. Mungkin karena hujan, suasana di lorong itu terasa dingin juga sepi. Shanin bahkan bisa mengisi pendengarannya dengan gema kaki sendiri padahal dirinya tidak berjalan terlalu kasar. Mereka menaiki lift karena memang unit Zio ini ada di lantai atas.

Kembali melewati lorong hingga akhirnya sampai. Zio yang tidak menyia-nyiakan kesempatan kecil hanya melipat tangan lalu dia suruh untuk membukakan pintu.

Shanin membuka penghalang tombolnya, dia bersiap nemasukan 6 digit angka yang berakhir mematung karena dirinya tidak mengingat passcode dari unit Zio itu.

Shanin hanya mematung dengan kepala yang mencoba mengingat-ingat. 1 sampai 6, 1 sebanyak 6 kali, atau....

Zio yang sepertinya tidak mau bersabar segera mengambil alih lalu menekan pinnya dengan fasih. Dia membukakan pintunya lalu membuat gerakan dengan kepala untuk menyuruh Shanin masuk.

Untitled MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang