7. Tertarik

300 50 4
                                    

Anne menatap Shanin yang baru saja keluar dari kamar mandi, dirinya hanya bisa menatap dengan raut sendu. Terlalu kaget waktu mendapati bagaimana kondisi Shanin tadi, Anne sampai kesulitan berkata-kata.

"Sini Tante bantu keringin."

Shanin tersenyum seraya menggeleng. "Rambut Shanin gampang kering kok, didiemin bentar aja."

Anne tampak tersenyum pahit. Mengingat bagaimana tadi, senyum sekarang yang gadis itu buat membuat hati Anne tidak tega.

"Shanin beneran nggak papa, Tante."

Anne menggigit bibirnya, dia menunduk. "Nin, siapa yang lakuin itu ke kamu? Zio?"

Shanin menggeleng. "Di sana ada tradisi buat anak baru, jadi nggak bakal lama lagi kok, Tan."

"Tradisi macam apa yang bikin orang lain sampe kayak gitu?" Anne terlihat menahan marah. "Nin, kamu keluar dari sana ya? Nanti kita pikirin cara lain buat bales Zio. Masih ada banyak kesempatan kok."

Shanin menggeleng lagi. "Shanin beneran nggak papa. Lagian mereka cuma main ala anak-anak manja. Karena selama ini Tante nggak liat Shanin tumbuh, Tante nggak tau aja, Shanin itu tangguh tau." Shanin mengacungkan kepalan tangannya dengan senyum bangga.

"Sayang, itu bukan buat disepelein. Kejahatan tetap kejahatan. Seria di sana juga mungkin nggak akan terima kalau kamu sampe kayak gini. Apalagi orang tua kamu, mereka pasti sedih liat anak kesayangannya diperlakuin kayak gini. Udah ya? Tante cari sekolah yang baru buat kamu. Atau kalau kamu masih kesulitan adaptasi, kita home schooling aja."

Shanin menggenggam kedua tangan Anne. Ia memberikan senyum manis untuk meyakinkan. "Mereka nggak ngelukain fisik Shanin kok. Mereka cuma kekanakan. Tante harus percaya sama Shanin, Shanin itu mampu kok."

Anne membuka mulutnya, tapi tak ada kata yang keluar. Dirinya pun menghela napas. Sekuat apa pun dirinya membujuk, Shanin tetap pada keinginannya. Anne takut jika Shanin benar-benar menghancurkan diri sendiri. Anne harus mencari cara lain.

"Katanya Tante tadi pesenenin Shanin makanan, udah dateng?"

Anne mengangguk, ia pun menuntun tangan Shanin untuk keluar. Mendudukkan pada kursi sementara Anne mulai membuka kantong yang ada di atas meja.

Anne membeli beberapa roti juga kue. Makanan manis bagus untuk membuat suasana hati Shanin menjadi lebih baik. Apalagi melihat Shanin yang  kurus. Gadis itu pelu banyak asupan gula.

"Coba ini." Anne menyodorkan sebuah pie susu pada Shanin.

Shanin pun menerimanya dan menggigitnya. Dia tersenyum cerah begitu merasakan cita rasa di dalam mulutnya.

"Kamu suka?"

Shanin mengangguk cepat.

"Dulu Mama kamu juga paling suka pie susu."

Gerakan Shanin tiba-tiba terhenti.

"Maaf Tante nggak maksud buat ingetin kamu." Anne berubah panik. Dia segera meraih tangan Shanin lalu menggenggamnya. Mulutnya terlalu spontan berkata barusan.

Shanin menunduk. "Justru karena Shanin nggak inget. Shanin nggak inget Mama suka ini." Bibir Shanin bergetar dengan air mata yang berjatuhan tanpa komando.

"Shanin nggak inget kebersamaan sama Mama, Shanin ... bahkan nggak inget wajah Mama."

Anne langsung menarik gadis itu ke dalam pelukannya. "Nggak papa, Sayang. Waktu itu kamu masih terlalu kecil. Susah buat memorimu bertahan. Mama kamu juga nggak bakal marah karena kamu nggak ingat. Mama kamu justru bangga. Meski kamu udah lupa semua tentang kalian, tapi kamu tetap sayang sama Mama kamu." Anne mengusap-usap rambut Shanin.

Untitled MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang