12. Pelindung

235 45 5
                                    

Shanin menarik napas dalam. Dia terlihat berusaha keras mempersiapkan dirinya untuk keluar dari taksi dan masuk ke dalam sekolah yang seperti simulasi neraka itu.

Shanin meniupkan napasnya dan menepuk-nepuk dada. Dia pun mengangguk mantap lalu mulai membuka pintu taksi itu.

Shanin berjalan dengan gugup. Wajahnya menunduk, tapi matanya melirik ke segala arah untuk mengantisipasi orang-orang. Shanin akan langsung berlari seandainya melihat ada anak dari kelasnya.

Karena tindakan Zio semalam, Shanin memutuskan tidak pergi dengan dia lagi. Persetan dengan Shanin yang akan diincar banyak orang, Shanin lebih kesusahan menghadapi Zio yang gila itu. Pacaran memang bisa menjadi jalan untuk balas dendam, tapi karena pria itu terlalu tegesa-gesa, Shanin jadi terbingung sendiri.

Shanin hampir menjerit begitu tangannya ditarik lalu dibawa oleh seseorang pada lorong yang sepi. Shanin melihat nametag Nada Federita lalu kemudian mendongak untuk menatap wajah gadis itu.

"Shanin dengerin gue dulu. Gue nggak peduli lo mau anggap gue cari perhatian, pansos sama lo atau apa," jelas Nada sekaligus mencegah Shanin yang hendak berontak.

Nada menatap Shanin lamat-lamat. Menarik napas dalam lalu berkata dengan begitu yakin. "Jauhin Zio, Nin."

Shanin hendak membuka mulut, tapi Nada dengan cepat menyela. "Ini bukan karena gue suka sama Zio atau gue mau Zio jadi milik gue, sama sekali bukan." Nada menggeleng-geleng dengan tegas. Dia memperkirakan apa yang Shanin pikirkan. Perkataan Shanin di atap itu cukup membuat Nada sadar jika Shanin tidak bisa percaya pada dirinya.

"Gue cuma fangirling, masih waras kalo mau jadiin Zio pacar beneran. Zio emang keren, tapi bukan buat jadi pilihan pasangan"

Nada merapatkan bibirnya, sadar jika dia terlalu banyak menjelaskan yang pastinya membuat Shanin bingung. Lebih parah jika Shanin akan menganggapnya hanya bualan saja.

"Pergi dari Zio, Nin. Ini bukan cuma soal lo yang diincar cewek-cewek yang lain, tapi Zio itu nggak biasa."

Shanin mengernyit dan sedikit memiringkan wajahnya.

"Emang, awalnya gue dukung lo. Tapi, setelah diliat-liat Zio ke lo itu beda. Beda banget sama waktu dia deket sama cewek sebelum-sebelumnya." Nada terlihat menggigit-gigiti bibirnya, menunjukkan jika keadaan perasaannya cukup cemas.

"Ryan pernah bilang, kalo Zio itu tertarik banget sama urusan pskilogis. Bukan karena dia mau jadi dokter, tapi dia bilang ngancurin orang lain dari sisi mentalnya itu keren."

Shanin terdiam.

"Awalnya gue pikir dia mungkin tertarik sama lo karena emang suka, tapi sekarang gue rasa nggak. Itu bukan perasaan tertarik. Dia deketin lo mungkin karena tau kehidupan lo ancur."

Tangan dalam genggaman Nada itu terasa menegang. Nada menunduk dengar rasa bersalah. "Sorry, gue cari tau tentang lo dan keluarga lo. Gue turut prihatin, tapi gue yakin nanti lo pasti ketemu sama bahagia lo, Nin. Lo bisa lepas dari Zio sekarang. Gue bisa bantuin lo secara diem-diem."

Shanin menarik tangannya yang sedari tadi terus Nada genggam. Dia terlihat menimang.

"Aku nggak papa," ucap Shanin dengan pandangan yang menunduk. "Makasih udah perhatiin aku, dan peduli. Tapi, tolong biarin aku aja"

"Nin?" ucap Nada dengan tidak percaya.

"Aku tau apa yang aku jalanin, ini pilihan aku. Makasih udah repot khawatirin." Shanin pun melangkah pergi meninggalkan Nada.

Nada hanya bisa menghela napas. Memegang pelipisnya tak habis pikir. Yang dirinya amati beberapa hari ini jelas menunjukkan kejanggalan. Zio tidak semanis senyumnya yang selalu dia sunggingkan.

Untitled MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang