17. Kenangan Buruk

161 30 5
                                    

Zio memakai setelah hitam. Tangan kirinya memegang buket bunga berukuran sedang. Pria itu melangkah mendekati apartemen Shanin. Langkah lebih dengan tubuh tegap membuat pembawaannya terlihat menawan.

Tidak menekan bell sebagaimana harusnya seorang tamu, Zio malah bersiap untuk menekan pinnya sendiri. Meski belum sempat Zio menekan pintunya sudah lebih dulu terbuka. Menampilkan Shanin yang memegang dada, mungkin dia terkaget karena Zio tiba-tiba ada di depan tempat tinggalnya.

Sama halnya dengan Zio, pakaian yang Shanin pakai sekarang pun berwarna hitam. Bersama dengan selendang tipis yang tersampir di bahunya. Ada sisa-sisa tangis di mata Shanin jika diperhatikan lebih detail.

"Eu, kamu nggak sekolah?" tanya Shanin dengan sedikit memalingkan wajah begitu sadar Zio menatap lekat dirinya

"Kamu sendiri?"

"Hari ini peringatan kematian Papa," ucapnya tak terlalu keras.

Zio meraih tangan Shanin lalu menyerahkan bunga yang dirinya bawa. "Mau ke pemakaman kan? Kamu harus bawa hadiah."

"O-oh, iya." Shanin mengangguk-angguk dan tersenyum kecil. Shanin menatap bunga itu dengan sorot yang lembut.

Zio meraih tangan Shanin yang menganggur. Dia menggengamnya erat lalu mulai membawa gadis itu berjalan.

"Kenapa bisa tau?"

"Apanya?"

Shanin kemudian menggeleng. "Nggak jadi." Dia pun kembali menghadap ke depan. Kematian ibunya saja Zio tahu, tentu dia juga tahu soal kematian ayahnya. Shanin bersyukur setidaknya kali ini dia tidak sendirian.

Zio yang menyetir dan Shanin yang menunjukkan arah. Zio cukup terheran karena ternyata bukan pemakaman yang gadis itu tuju, melainkan rumahnya sendiri.

Zio bergegas turun lalu membukakan pintu untuk Shanin, dia juga membungkuk meminta uluran gadis itu.

Zio dan Shanin pun melangkah di depan pelataran rumah yang luas. Beberapa kali Zio pernah ke sini, tentu dirinya tidak asing.

"Ada sesuatu yang mau kamu ambil dulu?"

Shanin menggeleng kecil. Setelah melewati tangga juga lorong yang panjang, mereka pun tiba di depan sebuah pintu berwarna biru. Shanin melepas tautan mereka lalu menekan handle pintunya.

Deretan buku langsung menyambut di sana. Terlihat bersih dan rapi meski agak pengap. Shanin masuk lebih dulu. Dia meletakkan bunganya dengan hati-hati pada sebuah kursi goyang. Lalu duduk pada karpet tebal di bagian pojok. Menjadikan rak buku sebagai sandarannya.

Zio melepas sepatunya lalu ikut duduk di samping Shanin.

"Jadi, ini tempatnya?"

Shanin mengangguk. "Papa nggak punya makam, dia dikremasi."

"Abunya semua dilarung?"

"Disimpan di sini," jelas Shanin. "Dulu," lanjutnya dengan sorot getir yang tidak bisa dibohongi. Meski bibirnya tersenyum, mata terlihat begitu ingin menangis.

"Karena kecerobohan aku, gucinya pecah. Abunya hilang dibawa hujan."

"Itu alasan kamu benci hujan?"

Shanin mengangguk kecil.

"Tapi buat apa kamu bawa gucinya keluar?"

Shanin terdiam. Gerakannya yang refleks berpaling dari Zio membuat Zio paham jika ada yang gadis itu sembunyikan.

"Aku mau diam sendiri boleh?"

"Tentu."

Shanin pun menghadap pojok, membelakangi Zio. Dia terlihat meringkuk memeluk kakinya.

Untitled MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang