"Tau nggak bagian termalas aku kalo ikut kalian mancing gini?" Nirina yang selesai mencuci ikan itu mulai mengambil beberapa botol bumbu. Dirinya dan Ryan tengah sama-sama berkutat di dapur. Meski sebagian besar Ryan hanya memperhatikan Nirina saja. Gadis itu yang memang lebih mengerti soal pekerjaan di dapur.
"Karena kamu yang harus masaknya?"
Nirina menghela napas kemudian memasang wajah cemberut. "Kenapa harus selalu aku sih?"
Ryan tertawa kecil. "Karena cuma kamu yang bisa masak. Kalau aku, mungkin kamu bisa langsung masuk rumah sakit pulangnya"
Nirina menatap kekasihnya itu. "Aku yakin loh kalian sering ke sini dari dulu. Aku juga yakin sebelum ada aku pasti ada orang yang masakin kalian, jadi kenapa nggak orang itu aja yang masakin lagi? Masakan sendiri itu susah buat dinikmatin. Aku juga pengen tau nyantai-nyantai makan gitu."
"Jadi aku harus panggil mantan aku buat ke sini?"
Nirina terdiam, dia menatap Ryan dengan kaget. "Oh jadi dari dulu udah hobi bawa cewek ke sini." Bibir Nirina mencebik, matanya menatap sinis.
"Jadi kalimat aku pacar kamu yang spesial itu juga pernah diucapin ke yang lain?"
Ryan terkekeh. Dia memeluk tubuh Nirina dari belakang. "Bercanda."
Nirina menggerakkan bahunya. "Bullshit, sana pergi."
"Seriusan."
"Alah, paling karena mantan kamu itu nggak mau diajak ke tempat sederhana kayak gini."
"Kok tau sih?"
Nirina melepaskan pelukan Ryan lalu berbalik dan menatap pria itu dengan bibir menganga yang tidak percaya.
Tawa Ryan pecah, dia mencubit dan menggerakkan-gerakkan pipi Nirina dengan gemas.
"Bercanda. Seriusan aku nggak pernah ajak siapa pun ke sini. Zio sendiri baru sekarang ajak Shanin."
"Entah kalimat kamu mana lagi yang harus aku percaya."
"Sumpah. Aku nggak boong. Kalau aku jelasin seberapa ekslusif kamu di hidup aku, kamu pasti mual-mual jijik."
Raut Nirina seketika menjadi geli bercampur kengerian. "Harus banget pake kata ekslusif?" Gadis itu pun bergidig lalu kembali berbalik dan mengurus ikan-ikan itu.
"Tuh kan? Kamu emang nggak bisa banget ya digombalin."
"Geli, sana!"
Ryan hanya menggeleng-geleng kecil lalu mengambil beberapa peralatan masak dari rak.
"Dari mana Zio?" tanya Nirina begitu melihat Zio masuk dari pintu belakang.
"Ambil barang, Shanin," jawab pria itu seraya menepisi tetesan air yang lolos dari naungan payung. Dia juga mengusap permukaan buku kecil berwarna merah muda di tangannya yang ikut kena.
"Shanin masih tidur?" tanya Zio sembari melangkah masuk.
"Masih kayaknya. Hujan gini emang enak banget sih dipake tidur. Bukan kerja rodi kayak gini," sindir gadis itu dengan bibir mencebik.
Zio mengangguk-angguk cuek kemudian berjalan ke arah kamar. Nirina mengamati kepergiannya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Zio emang seobses itu sama cewek yang ada tahi lalat di bawah mata ya?"
"Kamu kan pernah liat seberapa banyak gambar Zio tentang cewek itu."
"Tapi inget nggak sama cewek yang namanya Chelsea? Dia juga punya tahi lalat. Tapi Zio cuma main sebentar, nggak sampe tuh dibawa ke sini. Yang kata kamu jadi indikator spesial."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled Memories
Genç KurguShanin kehilangan adiknya, satu-satunya keluarga yang dirinya punya. Hingga terkuak fakta jika adiknya ternyata bukan murni meninggal karena kecelakaan, tapi dibunuh! Sebuah bukti mengarah pada Zionathan, orang yang punya kuasa tinggi hingga mudah m...