18. Maaf

192 39 14
                                    

Zio membawa Nirina menepi dari kerumunan itu. Nirina melipat tangan di dada dengan wajah berpaling yang sedikit pun tidak menyembunyikan perasaan tidak sukanya.

"Jadi, siapa Sora?" tanya Zio dengan penasaran. Saat membaca diary Shanin, Zio hanya menebak, tapi setelah melihat ekspresi Shanin tadi, sepertinya dia tidak salah menebak.

"Orang yang selalu ngintilin dan berharap lo jadi pacar dia."

"Bukan itu."

"Cewek obses yang bahkan tega nyakitin orang lain demi tujuannya sendiri."

Zio menghela napas dengan tatapan datar. Bukan itu yang Zio harapkan dari Nirina. Gadis itu pun tahu, tapi dia malah memilih menyebalkan seperti itu.

"Ryan pasti nggak jauh dari sini kan."

Nirina berdecak. Dia terlihat setengah hati. Bagaimana pun ini sama dengan mengkhianati orang yang sudah lebih dulu mempekerjakannya.

"Dia temen kecil Shanin. Nyokap mereka temen deket," jelas Nirina dengan nada yang ketus.

"Bukannya waktu kecil Shanin dijauhin temen-temennya?" tanya Zio mengingat percakapan antara Nirina dan Anne waktu itu.

"Lo pikir Sora baik? Enggak. Dia itu sejenis lintah. Shanin dipandang buruk sama anak lain, tapi itu nggak mengubah status dia sebagai anak dari pengusaha kaya yang punya segalanya. Dia pura-pura jadi ibu peri, nemenin Shanin main di saat yang lain jauhin dia. Tapi di situ dia ambil setiap yang Shanin punya."

Zio melipat tangannya di dada, matanya menatap Nirina dengan tertarik.

"Ngerinya dia buat Shanin seolah harus sangat berterima kasih karena dia temenin. Shanin nggak bisa nolak pemintaan Sora. Tau kalung Pianite yang selalu cewek itu bangga-banggain? Itu tuh peninggalan nyokap Shanin yang harusnya jadi milik Shanin."

"Wow," gumam Zio pelan.

"Dan sekarang lo biarin Shanin sendirian di tempat yang bisa dijangkau lintah itu? Terlebih lo terang-terangan deket sama Shanin." Nirina menggeleng-geleng.

"Sumpah, lo orang ternggak punya otak yang pernah gue kenal. Anak selugu Shanin loh, Seria aja dulu pernah Sora serang."

Zio tersenyum penuh arti. "Shanin nggak bakal kenapa-kenapa."

Nirina terkekeh singkat. "Kata-kata yang nggak bisa dilahap mentah-mentah."

Nirina mendelik sebelum meninggalkan Zio.

oOo

Shanin mencuci tangannya pada wastafel. Meski tangannya sama sekali tidak kotor, Shanin terus menggosok-gosok di bawah keran.

"Apa aku pulang sekarang? Tapi aku nggak tau ini di mana. Apa Zio bakal nurutin kalo aku minta diantar. Aku nggak bisa lama-lama ada di sini."

Shanin terkaget mendengar pintu yang ditutup dengan keras. Dia berbalik dan mendapati Sora di sana yang memandangi dengan sorot tajam.

"Sejak kapan pulang dari Itali?"

Shanin mundur satu langkah saat Sora mendekat.

"Harusnya lo itu kasih sapaan manis, bukan bikin gue marah, Shanin." Sora berucap tidak terlalu tinggi, tapi penekan pada setiap kata yang dia lakukan membuatnya terdengar mengintimidasi.

"Apa hubungan lo sama Zio?"

Shanin menunduk, tangannya terlihat meremas-remas.

"Jawab!"

Shanin terperanjat kaget. Dia melirik wajah Sora yang ternyata kian membara penuh amarah.

"Te-teme--"

Untitled MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang