Setelah mencuci muka juga membersihkan lututnya yang berdarah, Shanin pun pergi ke UKS untuk meminta obat. Awalnya petugas di sana terlihat khawatir akan kondisi Shanin, tapi setelah Shanin mengatakan dia dari kelas 12-1, sikapnya seketika menjadi dingin.
Petugas itu hanya menyodorkan plester instan. Tak menyarankan apa yang harus Shanin lakukan sebagaimana petugas kesehatan biasanya. Shanin pun menerimanya dengan diam lalu masuk ke salah satu bilik untuk memasangkannya.
Shanin simpulkan perundungan untuk anak baru di kelas itu bukan sekedar rumor atau hanya karena imbas dari Shanin membenci Zio saja. Mereka benar-benar melakukan ospek dengan konsep gila itu.
"Mereka orang-orang yang nggak punya hati."
Setelah selesai menempel plesternya, Shanin pun memutuskan untuk berbaring. Ia menyetel alarm 5 menit sebelum waktu istirahat habis. Shanin pun memandang langit-langit putih di atasnya. Polos, kosong hingga perlahan seolah mendekat lalu menarik Shanin ke dalam lelapnya.
oOo
"Shanin, mau ini?" Gadis berusia 7 tahun yang cantik dengan bado berwarna pink-nya itu menyodorkan sebuah roti kacang.
"Shanin, baju ini cocok buat kamu." Masih gadis yang sama, kali ini dia menyodorkan sebuah gaun yang sama persis dengan yang dia kenakan.
"Shanin jangan nangis." Jemari lentiknya mulai mengangkat dagu lalu mengusap air mata yang ada di pipi Shanin.
"Shanin, bye."
Shanin tiba-tiba bangkit dengan keadaan yang terengah. Dia melihat sekitar dan memastikan bahwa dirinya berada di UKS, bukan di rumahnya 10 tahun lalu itu. Itu bukan mimpi, melainkan potongan kenangan yang memang pernah Shanin alami.
"Seria ...." Shanin bergumam kecil dengan tatapan yang mengelana kosong.
Shanin pun mengusap wajahnya beberapa kali sebelum memutuskan turun dari ranjang itu. Petugas UKS hanya melirik sinis saat Shanin lewat. Shanin tak mempedulikannya dan tetap dengan tujuannya untuk pergi ke kelas.
Di sepanjang perjalanan Shanin tidak bisa merasakan pijakannya. Isi kepalanya seolah melayang jauh. Membuat Shanin harus beberapa kali mengerjap untuk menyadarkan di mana kakinya berpijak.
"Fokus Shanin, fokus," ucap gadis itu seraya mengetuk-ngetuk kepalanya. Pintu kelasnya sudah nampak. Shanin tidak boleh terlihat seperti ini di depan orang lain.
Shanin menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dia meyakinkan diri lalu mulai melangkah masuk ke dalam kelas. Semua pasang mata terarah padanya. Firasatnya berubah buruk. Waktu istirahat masih tersisa lumayan, tapi kenapa mereka sudah banyak di kelas?
Shanin bergegas menuju bangkunya dan berakhir mematung saat melihat semua buku bahkan tasnya sudah berubah menjadi potongan kecil. Semuanya berserakan di bawah mejanya.
Shanin tak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa menatap potongan-potongan itu dengan nanar.
"Next pelajaran Bu Gina. Siap-siap aja dihukum kalo lo nggak ada buku catatan. Better, lo ke kopsis sekarang deh."
Shanin tidak tahu siapa yang berkata. Shanin berpikir masih ada yang punya nurani ternyata. Namun, begitu Shanin melihat ke arah pintu. Shanin melihat dua anak yang berdiri di kedua sisi bingkainya. Seolah tengah menantikan Shanin untuk lewat di sana.
Tidak, tidak ada yang baik. Itu bukan saran, tapi dia menunjukkan bahwa Shanin tidak bisa apa-apa sekarang.
Shanin pun memilih untuk duduk. Bisa Shanin lihat tawa puas tertahan mereka. Setidaknya untuk sekarang mereka tidak akan melukai fisik Shanin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled Memories
Подростковая литератураShanin kehilangan adiknya, satu-satunya keluarga yang dirinya punya. Hingga terkuak fakta jika adiknya ternyata bukan murni meninggal karena kecelakaan, tapi dibunuh! Sebuah bukti mengarah pada Zionathan, orang yang punya kuasa tinggi hingga mudah m...