~Hati itu bukan untuk main-main karena kamu tidak akan menduga kapan kamu akan terjebak dalam permainanmu sendiri~
💜💜💜
Decakan malas keluar dari mulut Tama yang sedang menyenderkan tubuhnya di kursi. Matanya menatap orang-orang di depannya seolah menonton pertunjukan. Ia muak berada di ini, bersama orang-orang yang saling memuji tapi tidak memiliki ketulusan.
"Kedua anak kita sudah besar, sepertinya mereka sangat cocok yang satu tampan yang satu cantik. Bagaimana kalau acara pertunangan mereka dipercepat?"
Seorang lelaki paruh baya dengan kacamata yang bertengger di matanya menatap kepada lelaki paruh baya yang tidak lain adalah Papa Tama.
Seorang gadis yang duduk di sebelah Tama tersenyum bahagia ketika mendengar pertunangannya dengan Tama. Terlihat jelas di matanya kalau ia menyukai Tama.
"Tentu saja bisa, saya juga menyukai Haya yang sangat sopan tentu saja sangat cocok dengan anak saya" balas Papa Tama.
Tama berdecih mendengar jawaban Papanya, tanpa bertanya apakah ia bersedia bertunangan dengan perempuan itu. Tapi Tama sudah terlalu mati rasa untuk marah kepada lelaki itu. Semenjak kematian Mamanya, sejak saat itu juga ia menganggap Papanya telah pergi.
Ia bangkit dari tempat duduk dan melangkah pergi tanpa menghiraukan teguran Papanya yang seolah angin lalu. Sedangkan Haya yang melihat Tama pergi segera menyusul lelaki itu. Ia melihat Tama yang sedang menghisap Vape-nya di balkon.
"Kenapa Lo kelihatan gak senang tunangan sama gue?"
Pertanyaan Haya seolah angin lalu bagi Tama. Dari dulu ia memang tidak pernah menyukai Haya. Gadis itu cantik tapi hatinya tidak pernah tergerak sedikitpun terhadap Haya.
"Apa karena Nadira?" tanya Haya menatap licik Tama yang langsung menoleh ke arahnya.
"Yakin Lo suka sama dia? Padahal Nadira gak pernah suka sama lo" ucap Haya membuat Tama menatapnya tajam.
"Jangan ikut campur!"
"Gimana gue gak ikut campur kalo calon tunangan gue tersayang ini cuma dimanfaatin" Haya tersenyum miring melihat ada perubahan dalam raut datar Tama.
Haya mengeluarkan handphonenya dan memberikan kepada Tama. Ia yakin setelah lelaki itu melihat kebenaran dari Nadira maka Tama akan sangat marah dan membenci Nadira.
Kening Tama berkerut melihat sebuah video terputar yang terlihat jelas kalau itu diambil secara tersembunyi.
"Apes banget sih hidup gue jadi babu lo" keluh Melia sembari menghembuskan nafas kasar.
"Siapa suruh Lo nangangin gue. Nadira itu belum pernah kalah apalagi cuma hal seperti itu" sahut Nadira tertawa kecil.
"Emangnya Lo gak takut apa ketahuan Tama?"
"Takut. Tapi dia gak bakal tau kalo Lo gak ngomong ke dia. Lagian gue gak nyangka semudah itu membuat Tama suka sama gue padahal awalnya dia 'kan gay" ucap Nadira.
Melia berdecih, "Doi bukan gay kali"
"Mustahil gue aja liat dia dengan mata kepala sendiri deketan sama cowok. Yah apapun itu dia udah normal lagi. Jadi, gue udah menang dari taruhan itu dan Lo terima aja nasib jadi babu gue" Nadira menepuk punggung Melia dengan senyum penuh kemenangan.
Semakin lama Tama menonton videonya semakin gelap juga wajahnya. Rahangnya mengeras dan amarah kian terbakar dihatinya. Tapi dengan cepat ia mengendalikan diri dan memberikan handphone Haya kembali kepada Haya. Ia menatap tajam Haya membuat gadis itu sedikit bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ziratama Obsession [TELAH TERBIT]
Ficção AdolescenteCERITA MASIH LENGKAP! Niat awal Nadira hanya ingin bermain-main, ia tidak seserius itu ingin mengejar Tama. Nadira hanya merasa tertantang karena mengira Tama yang belok atau gay. Terlebih taruhan yang ia adakan dengan salah satu sahabatnya membuat...