Bab 11- Kau Membuatku Tak Berdaya

12 4 0
                                    

"Pak, tolong tanda tangan di sini," ujar seorang pria mengenakan seragam perpaduan hitam di bagian belakang dan oranye di bagian depan dari atas hingga bawah dilengkapi name tag menyorongkan sebuah papan beserta dokumen yang harus ditandatangani oleh pria di depannya.

Hening, tak ada tindakan atau jawaban dari pria di depannya, pun pria bertopi itu menatap ke depan memeriksa pria yang mengabaikannya.

"Pak! Pak! Anda mendengar saya?" tanya kurir itu menyadarkan pria yang berdiri mematung.

"Ah, maaf, ya?" tanya pria yang akhirnya tersadar dan menatap lawan bicaranya.

"Biar aku saja yang tanda tangan, di mana yang harus kutandatangani?" tanya Orel yang mengambil alih papan alas tulis berwarna hitam itu dari tangan kurir.

"Di bagian ini, ini dan baliknya, Pak Orel." Kurir bahan utama tempat usaha keduanya itu menjelaskan sembari menunjuk dengan ujung telunjuk.

"Baiklah." Orel menggoreskan pen di kertas membentuk tanda tangannya yang khas.

"Terima kasih, Pak Orel." Kurir lelaki itu pamit dan memberi kode rekannya untuk meninggalkan tempat usai mengirim barang.

Mobil box berwarna silver itu mulai bergerak mundur meninggalkan area parkir, sementara Orel berbalik dan tak menemukan Lyon di belakangnya. Pria berambut gondrong yang dikucir membentuk bun dengan ikat karet hitam bergerak ke barang-barang mendukung usaha toko kopi keduanya yang dikelola Orel. Orel memanggil pegawai prianya dari belakang untuk mengisi stok, sebab ia hendak mengajak bicara tentang sikapnya pagi ini. Orel pergi ke dapur dan menuang larutan berwarna pekat ke dua mug berwarna putih, lalu membawanya ke bangku yang telah dibersihkan pegawainya.

Orel menaruh mug dari tangan kanannya di hadapan Lyon yang duduk terdiam dengan mata menerawang. "Kau kenapa sepagi ini sudah tak fokus?"

Lyon tak segera menjawab, pindah posisi dan mengamati mug yang diberikan Orel. "Aku melihatnya."

"Kopinya memang beraroma jauh lebih enak daripada sebelumnya, itu dari Yusuf. Dia reseller terkenal di dunia perkopian."

"Aku melihat Eloish." Lyon mengatakan dengan sangat jelas di telinga Orel.

Orel yang menyeruput kopi menyudahi kegiatannya secara mendadak. "Di mana? Apa dia melihatmu juga? Gimana reaksinya? Reaksimu gimana, enggak ngejar-ngejar dia 'kan?"

Lyon masih tertunduk menatap minuman berwarna pekat di mug putih sembari menarik nafas dan mengembuskannya perlahan. "Dia di dalam mobil di jok penumpang entah bersama siapa dan sepertinya dia tak menyadari kehadiranku."

Orel menghela nafas sembari menyandarkan punggungnya di kursi. "Ahh, syukurlah kau tidak anarkis menyerangnya dengan sepuluh ribu pertanyaan yang hanya akan menambah lukamu lagi."

Lyon mengangkat mug dan menyeruput isinya, kopi itu menenangkan karena mengandung kafein. "Aku menahan egoku sendiri untuk tak melakukannya, bertanya-tanya bagaimana sebaiknya aku bersikap ketika melihatnya lagi. Apakah ada kesempatan lain yang mempertemukanku dengannya, ataukah ada terbersit keinginan untuk menjelaskan alasan kepergiannya seperti itu padaku."

"Kalau dia punya niat begitu, dia pasti akan menghubungimu setidaknya beberapa hari setelah meninggalkanmu, Lyon,. Sudahlah, sadar move on, Lyon." Orel menatap Lyon dengan raut sedih.

"ini menyiksaku, Orel. Kenapa bahkan setelah kepergiannya justru ini begitu menyakitkan?"

"Move on, lupakan dia dan bagaimana kalau kau mencari cinta lain yang bisa membuatmu bisa melupakannya? Aku banyak kenalan teman wanita—"

"Aku lupa ada janji dengan seseorang," ujar Lyon memutus perkataan Orel sembari berdiri menghabiskan kopinya dalam sekali teguk dan pergi.

"Hei, yang benar saja! Kenapa caramu minum kopi seperti itu, huh! Kenapa kau tak mau, ya! Ah, dasar, Lyon!" Orel menggerutu atas sikap Lyon yang kaku soal dunia percintaan.

Sweven Where stories live. Discover now