Bab 26- Kau Ditipu?

8 2 0
                                    

Desau angin ditangkap telinga seolah bisa mengantarkan kenangan antara dua insan di masa muda dimabuk asmara, saling melempar tawa menjalin ikatan manis mengalahkan madu. Dua insan itu sengaja datang kemari untuk melepas penat, berlindung di bawah selimut kotak-kotak merah dan di tangan masing-masing memegang cangkir berisi kopi panas. Pria tua itu tersenyum menatap kenangan dirinya dengan sang kekasih di masa muda yang telah lewat, bagaimanapun ia merindukan masa itu, hal itu tak akan pernah kembali lagi. Dua insan penuh cinta di hati mereka menghilang, kini berganti dengan dirinya yang masih muda berjalan ke pagar kayu dan bersandar di sana, tak berapa lama seorang wanita cantik menghambur di bahu sembari menyapa.

"Kenapa wajahmu ditekuk begitu, sih? Enggak mau ketemu di sini, ya?" tebak wanita cantik berambut lewat dari bahu.

Dirinya di masa muda menoleh ke samping. "Aku diminta ikut paman dan sekolah di sana."

"Paman Bell?"

"Itu hal bagus! Itu juga untuk masa depan kita! Aku akan mendukungmu!"

"Apa kau tahu artinya apa?" tanya pria muda menatap sang kekasih.

Wanita muda yang rupawan itu heran. "Artinya apa? Hmm, apa ada arti lain?"

Pria muda itu merubah posisi tubuhnya menjadi menghadap sang kekasih dengan jelas. "Tak ada masa depan untuk kita."

Senyuman di bibir wanita muda itu perlahan menghilang. "Maksudnya, Rey?"

"Aku diminta melanjutkan sekolah dengan tinggal bersama Paman Bell untuk bekerja mewarisi usaha papa, jika aku mau iyu sekaligus menjadi persetujuanku menikah dengan perempuan pilihan papa, Rosy." Pria muda yang disebutkan namanya itu menjelaskan panjang lebar.

Wanita itu seketika bersandar di pagar karena kakinya mendadak menjadi jeli mendengar penjelasan Rey. "Aku kira hal itu hanyalah ada di film-film yang ada di televisi, ternyata itu sungguhan ada."

"Kau yakin mendukungku pergi melanjutkan sekolah, Rosy? Kau serius?" tanya Rey menengok wajah Rosy.

Rosy menatap sang kekasih dengan wajah sedih sekaligus takut kehilangan. "Menurutmu bagaimana? Impian kita sudah di depan mata,"

Rey menatap gerakan tangan Rosy mengelus perutnya yang masih rata, hal itulah membuat Rey merasa berat meninggalkan Rosy. Pria tua di sana memejamkan mata, kesedihan sarat sekali di wajahnya hingga kepalanya tertunduk dalam beberapa menit lamanya. Derap langkah mendekat mengusik pendengarannya, Rey takut jika yang datang adalah Rebeca, pun membuka mata dengan cepat mengabaikan bulir air mata membasahi pipi, tetapi yang berdiri di sampingnya bukanlah istri dinikahinya tanpa menghasilkan anak, melainkan seorang pria yang dikenalnya sebagai partner usahanya. Pria berambut pirang itu tersenyum sembari mengulurkan sebuah cangkir yang isinya mengeluarkan asap tipis tertiup udara dingin dari danau buatan.

Rey terkejut, tak menyangka jika akan bertemu dengan pria berambut seperti emas di tempat penuh kenangannya. Rey menerima cangkir dari tangan pria tampan yang seolah tak pernah menua itu dan menyeruputnya segera, sebagai tanda terima kasih diberi minuman menghangatkan tubuh. Keduanya menikmati kopi manis di cangkir masing-masing sembari menatap binatang-binatang yang hidup di sana.

"Saya cukup terkejut mendapati Anda di sini, Pak Eggy," ujar Rey mengungkapkan keterkejutannya.

Pria bernama Eggy itu tersenyum, "Saya pun begitu, mengira bukan Pak Rey. Ternyata benar, Anda. Kurasa lebih santai kita bicara non formal, ini bukan tempat kerja."

Rey terkekeh sambil mengangguk. "Ah, iya, kau benar."

"Apa yang Pak Rey pikirkan di tempat seindah ini sampai seperti itu?" tanya Eggy lewat bibir tipisnya lalu menatap lurus ke depan sembari meneguk kembali kopinya.

Sweven Where stories live. Discover now