Bab 29- Kau Lukai Lagi

18 3 0
                                    

Pantulan wajah cantik di kaca mungil yang memang disediakan produsen produk kosmetik berbentuk padat, tak hanya mengaplikasikan bedak saja, bibir yang sudah berpoles gincu masih dipoles lagi menggunakan warna yang sama. Wanita berambut sepunggung itu tersenyum di cermin kecil dan memajukan wajahnya agar dapat melihat detail bibirnya yang dipoles ulang. Ia menutup kaca mungil di bedak padat miliknya dan mengibas-kibaskan kedua tangannya di wajah agar lipstik yang baru saja dipolesnya lebih cepat kering, lalu mengambil cup minuman berwarna pekat di meja menyedotnya dua tegukan dan menjauhkannya segera.

"Beneran enggak transfer lipstiknya, suka, deh! Beli lagi, ah!" ujarnya melihat sedotan putih tanpa noda di cup kopinya.

Ia memasukkan alat make up ke tas merah marun dan bangkit sembari membawa minuman yang masih banyak. Ia meninggalkan meja dan berjalan ke pintu utama, melewati meja di mana dua pria tengah berdiskusi terkesan serius, tapi entah membahas apa. Langkah wanita bergaun merah marsala itu terhenti karena sepatu hak tingginya terasa aneh, sontak ia mengecek dan menunduk tak disangka bandul tas yang dikenakannya menyangkut di rambut pria yang mengenakan kemeja warna khaki hingga mengaduh.

"Oh, maaf, maaf, aku tidak sengaja," sesal wanita itu mengecek tasnya.

Pria itu tak diam saja, ikut mengurai tautan bandul tas yang menyangkut di rambut panjangnya bagian samping. Ia memilih melepas ikatan rambut agar segera terurai dan mengurangi rasa sakit karena tarikan, begitu yang tersangkut terlepas, pria itu segera mengikat rambutnya kembali. Wanita pemilik tas segera meminta maaf, bahkan sampai dua kali secara sopan. Pria itu mengatakan jika tak apa dan memberikan saran jika bandul menjuntai seperti itu kurang cocok dengan model tas. Wanita bergaun marsala berterima kasih dan pamit undur diri, sementara pria berambut panjang yang diikat membentuk bun itu kembali berdiskusi dengan pria di hadapannya.

Wanita berambut panjang sepunggung itu keluar dari cafe dan masuk ke kendaraan roda empat yang diparkir depan cafe. Tangan kirinya nya sibuk memindahkan tas ke jok sebelah karena perlu membuka dashboard, mengambil plastik bening dan tangan kanannya memasukkan benda begitu tipis berwarna hitam yang panjang, mengemasnya dengan rapi, lalu memberikannya ke belakang. Di belakang, seorang wanita paruh baya menerima uluran barang dari wanifa bergaun marsala, tetapi tangan itu masih saja tetap di tempat seolah meminta sesuatu yang lain sebagai barter. Sebuah amplop putih diletakkan di sana oleh wanita tua di jok belakang, sontak tangan wanita bergaun marsala berpindah posisi.

"Terima kasih uang jajannya, kalau butuh bantuanku lagi, telepon saja," ujar wanita bergaun marsala manja keluar dari kendaraan roda empat.

Seuntai rambut hitam dan panjang di dalam plastik bening diangkat setinggi dagu oleh wanita paruh baya di jok belakang. Ia menatap dari kejauhan ke arah cafe yang berdinding kaca, di sana terdapat pria berkemeja warna khaki tengah mengobrol dengan pria berpipi tembam yang diyakininya adalah bayi laki-laki ditinggalkannya di dalam keranjang rotan di depan pintu kala hujan waktu itu. Ia berpindah tempat tanpa keluar dari mobil, lalu mengendarai kendaraan pribadinya itu menjauh dari cafe. Sepanjang perjalanan ia bermonolog antara mengurungkan niatnya ini karena takut sang suami akan mengetahui gerak-gerik mencurigakannya ataukah tetap melanjutkan demi memuaskan rasa penasarannya. Di traffic light kendaraannya berhenti, dia—Rebeca—menyandarkan keningnya di kemudi dengan tak memindahkan tangannya dari sana.

"Apa yang akan kulakukan jika hasilnya cocok? Apakah aku akan meminta maaf padanya? Jika tak cocok, apakah ini merupakan rasa bersalahku telah meninggalkannya?"

Suara klakson yang menjerit terdengar dari arah belakang mobilnya, membuat Rebeca harus segera memutuskan pilihan, terus melaju ataukah berbelok ke kiri ke salah satu rumah sakit terdekat. Ia membelokkan setirnya ke kiri, bagian atas bangunan rumah sakit sudah terlihat dari kejauhan, degup jantung Rebeca menjadi makin tak karuan. Kendaraan memasuki area rumah sakit, diarahkan ke area parkir roda empat dan berdiam diri di sana untuk beberapa saat. Ia menatap rambut yang ada di dalam plastik bening sembari menghela nafas, keputusannya saat ini mungkin akan disesalinya, tetapi paling tidak keingintahuannya terpenuhi. Ya, Rebeca keluar dari mobil dan berjalan ke pintu masuk samping rumah sakit, ia akan memberikan sampel rambut itu sebagai sampel untuk tes DNA.

Sweven Where stories live. Discover now