Bab 20- Kau Memilih

12 2 0
                                    

Angin di dataran rendah dan tinggi jauh berbeda dirasakan berulang kali oleh wanita cantik berambut panjang yang kali ini diikat kuda diberi pita hitam bermotif polkadot panjang sederhana. Ia pun memakai pakaian tak biasa, bukan seperti biasanya bahkan terlihat jauh lebih cantik dan elegan. Ya, stelan panjang berwarna hitam itu milik ibunya dulu semasa muda, sementara kacamata bertengger di hidung mancungnya adalah peninggalan mendiang ayahnya. Ia berlutut bertumpu batu lebar yang ada di ujung makam ayah dan ibunya dan menaruh dua buket bunga di masing-masing makam dan berdoa. Ya, dialah Yvonne tengah melantunkan doa-doa atau monolog entah berapa lama yang pasti langit terang ketika ia selesai berdoa, tetapi tak segera pulang dan memilih duduk di antara makam orang tuanya sambil mencabuti ilalang melihat pemandangan dari atas bukit.

Namun, dari kejauhan awan berwarna abu-abu gelap, Yvonne menatapnya sembari mendesah. Angin kencang bukan tiba-tiba datang menerpa, memang seperti itu tanda-tanda akan hujan sebentar lagi. Yvonne menoleh ke kanan dan kirinya secara bergantian seraya pamit ia harus segera turun dan menunggu bus di halte jika tak ingin kehujanan. Angin menerbangkan pita rambut sekaligus anak rambut Yvonne ketika wanita itu menuruni bukit, orang-orang yang ditemuinya naik bukit tadi ketika naik pun telah pergi entah kapan. Makam berundak itu sepi, hanya ada jasad-jasad keluarga yang telah meninggal ditimbun tanah. Langit terang telah berubah abu-abu sepenuhnya ketika Yvonne melewati gerbang makam di bagian depan. Aroma petricor sangat menusuk hidung dan telinganya mendengar suara hujan datang dari arah bukit makam membuat langkah Yvonne berubah menjadi lari untuk berteduh di halte.

Halte itu memang tak luas dan rasanya tak cukup kering untuk berteduh, sebab hujan rintik-rintik berubah deras. Yvonne mengusap bagian tas tubuhnya dari bulir hujan ketika sebuah sepeda motor hitam berhenti tepat di depan halte, pengemudinya segera turun sembari mematikan mesin dan berlari berteduh bersama Yvonne. Pengemudi roda dua itu melepas helm hitam yang menutup seluruh kepalanya dan menoleh ke samping bertepatan dengan Yvonne yang melakukan hal sama.

"Kau," ujar Yvonne dan pria pengemudi roda dua—Lyon.

Keduanya lantas reflek tersenyum sendiri, tak menyangka jika akan bertemu dengan rekan kerja di bawah naungan Sienna. Hujan masih turun meskipun tak sederas di beberapa menit awal, bangku besi dingin itu dijadikan satu-satunya tempat duduk yang bisa mereka gunakan untuk melepas lelah berdiri menunggu hujan reda.

"Sendirian? Mengunjungi makam juga?" tanya Lyon membuka obrolan mengusir dingin.

"Ya, makam orang tuaku dan kau juga?" tanya Yvonne sekaligus menjelaskan sedikit tujuannya.

"Ya, bukan makam orang tuaku, makam orang yang telah berjasa membesarkanku," jawab Lyon.

Yvonne mengangguk sembari melipat tangannya di dada, baju sweater hitam itu memang cukup hangat, tetapi juga cukup rasanya hanya mengenakan baju itu di ruang terbuka seperti ini. Lyon melepas jaket hitam tebal miliknya dan bangkit mendekati Yvonne unyuk menyampirkannya ke tubuh wanita cantik itu. Yvonne tersenyum seraya berterima kasih karena perhatian Lyon yang tak disangkanya.

"Terima kasih, ini hangat sekali," ujar Yvonne merapatkan jaket yang ukurannya tak sesuai dengan tubuhnya.

"Kau lebih membutuhkannya, kurasa bus lama datangnya." Lyon menengok jalanan yang kosong dan sepi kendaraan lewat.

"Jalanan di sini memang jauh lebih sepi dan bus lama datang apalagi hujan, harusnya aku periksa perkiraan cuaca sebelum pergi kemari." Yvonne menunduk sembari menghela nafas.

"Tujuan kita sama, kuantar saja setelah hujan sedikit reda." Lyon menawarkan diri.

"Akan merepotkanmu," ujar Yvonne tak enak.

"Tidak juga, aku sendirian dan kau butuh tumpangan," ujar Lyon.

"Terima kasih tawarannya." Yvonne tersenyum.

Sweven Where stories live. Discover now