Bab 18 - teh hangat

39 24 19
                                    

"Saya minta waktu anda sebentar, boleh kita bicara?" Ucap Adit dengan tatapan mata tajam.

"Bicara saja sekarang, waktu saya gak banyak." Tegas pria berkulit sawo matang dengan rambut sedikit ikal.

"Anda kenal Nada Arshita?"

"Apa urusannya dengan saya?"

"Apa yang sudah anda katakan sehingga mbak Nada nangis?"

Sejenak pria itu terdiam, kemudian ia menghela nafas pendek lalu kembali berucap, "saya hanya menyapa, tapi reaksi dia yang berlebihan, sudah cukup saya sibuk." Pria itu segera beranjak pergi namun Adit dapat mengejarnya.

"Apa hubungan anda dengan mbak Nada? Apa anda mantan kekasihnya?" Adit mencegat tubuh pria yang tinggi badannya lebih darinya.

"Kamu siapa? Adiknya? Saudaranya?" Pria itu balik bertanya, "saya rasa dia tidak memiliki saudara di Jakarta, tapi siapa pun kamu saya tidak peduli, permisi." Kali ini pria itu pergi dengan langkah kaki lebih cepat sehingga Adit tak lagi mengejarnya.

Adit tidak merasa puas dengan jawaban pria itu, entah mengapa pria itu enggan menjawab pertanyaan inti darinya? Sepertinya ia memang harus menyelidiki pria ini agar ia tahu hal yang sebenarnya terjadi antara pria itu dengan Nada.

Tiba-tiba saja ponselnya berdering, segera ia ambil dari dalam saku jas-Nya kemudian ia usapkan layar ponsel menggunakan jari jempolnya, "Apa? Mbak Nada demam? Oke, saya akan kesitu sekarang." Adit segera bergegas masuk ke dalam mobil dan melakukannya dengan kecepatan tinggi karena merasa cemas dengan kondisi Nada setelah mendapat telepon dari ibu pemilik kos.

Sesampainya ia di halaman indekos, ia disambut oleh ibu pemilik kos itu dengan raut wajah penuh kecemasan, kemudian ia segera berlari masuk ke dalam kamar Nada dan melihat wanita yang dicintainya terbaring di atas ranjang dengan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, ia langsung mendekat lalu memegang dahi Nada.

"Minum obat dulu mbak, tadi di jalan aku belikan paracetamol buat mbak." Ucap Adit yang memintanya agar Nada terbangun untuk meminum obat yang sudah ia siapkan.

Setelah Nada berhasil menelan obat itu lalu meminum setengah gelas air, ia pun kembali menurunkan kepalanya pada bantal tanpa berkata apa pun.

Adit bergegas mengambil air hangat dari dispenser air, kemudian ia mengambil satu helai handuk kecil yang sengaja ia bawa lalu mencelupkannya pada air hangat itu hingga ia memeras dan meletakkan pada dahi Nada agar suhu panas dalam tubuhnya segera menurun.

Adit dengan sangat telatennya mengurus Nada yang seperti tidak berdaya di atas tempat tidurnya, dan sepertinya karena pengaruh obat yang Adit beri membuatnya merasa sangat mengantuk sehingga tak butuh waktu lama ia segera tertidur lelap, Adit pun dapat bernafas lega karena ia tidak melihat Nada menangis lagi.

Ia memutar badan dan berjalan perlahan meninggalkan Nada yang sudah ia pastikan bahwa wanita itu sudah baik-baik saja, kemudian ia mendapati pandangan mata ibu kos yang penuh iba, "kamu tungguin Nada malam ini ya, karena saya tidak mungkin menemani Nada di sini, tapi mohon maaf kamu tidur di luar kamar, bisa?"

Adit menarik ujung garis bibirnya, "Gapapa bu, saya bisa tidur di kursi luar, yang penting saya bisa jagain mbak Nada di sini."

"Ya sudah, saya ambilkan bantal dan selimut buat kamu ya."

"Terima kasih, bu." Wanita paruh baya itu tersenyum lalu beranjak pergi untuk mengambilkan kedua benda yang membuat tidur Adit nyenyak malam ini walaupun berada di luar ruangan.

***

Suara alarm dari ponsel Nada berbunyi, perlahan ia membuka mata dan melihat layar ponselnya yang ternyata waktu menunjukkan pukul 05.30 WIB, Nada mengangkat kepala dan tubuhnya secara perlahan, sepertinya kondisi tubuh Nada saat ini sedikit membaik, rasa sakit di kepalanya pun sudah menghilang, kemudian ia teringat kepada Adit, pria yang telah mengurusnya semalam ketika ia dilanda demam, ia pun segera mengim sebuah pesan dari ponselnya kepada Adit.

Terima kasih telah merawat saya semalam, saat ini saya sudah merasa lebih baik.

Ting!

Nada terkejut ketika mendengar bunyi sebuah ponsel ketika ia berhasil mengirim pesan itu pada Adit, bahkan suara itu sangat dekat dengannya, dengan rasa penasarannya ia segera mencari keberadaan benda elektronik tersebut dan ternyata ada di bawah bantalnya.

"Handphone Adit? Kok, ada di sini?" Segera ia turun dari ranjang kemudian ia berjalan dan membuka pintu kamar kosnya, dan benar saja dugaannya, ia melihat pria itu sedang tertidur di atas kursi panjang yang awalnya terletak di halaman depan kini berpindah tepat di samping pintu kamar Nada.

"Dia semalaman di sini?" Ucap Nada dengan suara rendah namun lebih berisik dari embusan angin, "sebaiknya aku gak bangunin dia dulu deh, dia pasti cape."

Nada kembali masuk ke dalam kamarnya, kemudian ia berpikiran untuk menyiapkan teh hangat untuknya dan Adit, segera ia siapkan itu semua bersama roti tawar yang ia bakar dengan menggunakan olesan selai coklat.

Perlahan mentari sudah menampakkan cahayanya, bumi yang sedang Nada dan Adit pijak saat ini perlahan mulai menghilang kegelapannya, sehingga Adit terbangun karena pantulan cahaya matahari mengenai matanya, "Udah siang ternyata." Ucapnya sambil mengucek kedua matanya.

"Kamu sudah bangun." Ucap Nada yang tiba-tiba muncul dengan membawa satu gelas teh hangat.

Adit terkejut lantas membuka kelopak matanya dengan penuh, kemudian ia tersenyum karena telah memastikan bahwa kondisi Nada sudah sangat baik saat ini, "mbak udah sembuh?"

Nada berjalan mendekat ke arah Adit sambil menyerahkan gelas berisi teh hangat itu, "buat kamu."

Pria itu bangkit dari posisi tidurnya kemudian menurunkan kedua kaki hingga posisinya saat ini menjadi duduk lalu mengambil teh hangat itu dari tangan Nada "makasih ya mbak."

"Saya juga berterima kasih sama kamu karena sudah mengobati dan merawat saya semalam."

"Sama-sama, mbak."

"Oh iya, handphone kamu ada di bawah bantal saya," Nada menyerahkan ponsel itu, "kamu kenapa gak pulang? Kenapa harus tidur di sini?"

"Aku cuma khawatir, dan mau memastikan mbak baik-baik aja."

Nada menghela nafas, kemudian tanpa di sangka ia menurunkan tubuhnya pada kursi itu sehingga ia kini duduk disamping Adit, "saya sudah baik-baik aja, maaf ya saya sudah merepotkan kamu."

Jantung Adit kini berdebar lebih cepat, getaran yang terasa dalam hatinya semakin terasa, sepertinya ia merasa masih berada dalam mimpi, namun ternyata ini nyata, ia membuktikannya sendiri dengan mencubit pahanya sehingga ia meringis, "Gapapa mbak, jangan minta maaf sama aku, ini sudah kewajibanku buat nolongin mbak."

"Saya sudah siapkan sarapan roti bakar selai coklat, kamu mau?" Tanya Nada dan mendapat respons penyetujuan.

Jelas hal itu megundang tawa kecil yang keluar dari mulut adit, "mau banget mbak." Ucapnya menyeringai.

"Oke, tunggu sebentar ya." Nada pun kembali masuk ke dalam kamar untuk mengambil roti sebagai menu sarapannya bersama Adit pada pagi ini

Life After Break Up [Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang