16 | Zea

88 20 8
                                    

Selama berbulan bulan Zea tinggal berpisah dari orang tua nya, dan bahkan dua bulan terakhir Ia putus kontak dengan mereka, lebih tepatnya Ia mengasingkan diri.

Tangan nya tergerak untuk menyentuh perutnya yang sudah lumayan besar itu. "Kenapa kamu ga mati?" pertanyaan itu jelas menandakan ketidakterimaan nya atas kehadiran Janin itu.

Sudah banyak pil penggugur yang Ia konsumsi, tapi ternyata Bayi itu masih bisa bertahan di dalam perutnya.

Zea sama sekali tidak menginginkan bayi itu, karena Ia sangat membenci Ayah nya sampai rasanya Ia ingin membunuhnya dengan tangan nya sendiri jika Ia bisa.

"Aborsi?" keinginan itu melintas di dalam benaknya, air matanya langsung berjatuhan kembali, dengan langkah gontai Ia keluar dari kontrakan itu.

Di sepanjang jalan, orang orang menatapnya miris dan kasihan, membuatnya semakin menundukan kepala nya.

Hidup dalam Aib, seperti inilah rasa nya.

Saat sampai di klinik, Ia langsung meminta dokter untuk menggugurkan kandungan nya, yang bahkan akan melihat dunia sebentar lagi.

"Mbak, tapi—"

Zea bahkan sampai rela berlutut di hadapan nya. "Lakuin aja dok, saya mohon.. " tidak ada lagi yang bisa Zea pikirkan, dirinya kalut, depresi. bahkan sekedar untuk memikirkan manusia lain, Ia tidak mampu.

Iba, itulah yang para dokter itu rasakan, keputusasaan yang dialami Zea terasa juga oleh mereka.

.
.

Entah sudah berapa lama dirinya tidak sadarkan diri, saat Ia terbangun Ia langsung merasakan sakit di seluruh tubuh nya.

Tangan nya bergerak, lalu merayap ke area perut nya, hati nya langsung mencelos, menyadari kalau janin yang selama ini ada di dalam perut nya telah hilang.

"Maaf.." lirihnya nyaris tak terdengar.

Beberapa menit kemudian, pintu ruangan nya dibuka dari luar, "Anda sudah sadar?" sapa sang dokter dan kemudian Ia masuk kedalam ruangan nya, "Kami meminta maaf sebelumnya, kami tidak melakukan apa yang Ibu minta, bayi Ibu sudah di bulan ke tujuh, dia selamat, tapi dia terlahir prematur dan—"

"D-dia hidup?" Zea langsung memotong ucapan nya.

Dokter itu terdiam beberapa saat, lalu mengangguk pelan.

Seribu pertanyaan bersarang di dalam pikiran nya, bagaimana bisa—bagaimana bisa Bayi itu bertahan saat Ibu nya sendiri mati-matian ingin menyingkirkan nya?

Saat itu, ternyata Ia baru tersadar dari koma nya, tepatnya 5 hari setelah proses pengguguran itu, yang ternyata tidak berhasil.

Zea langsung memutuskan untuk membawa dirinya dan bayi nya untuk pulang, meskipun Ia sudah diberi tau kalau bayi nya masih membutuhkan perawatan intensif.

Ia memang membawa bayi nya, tapi tidak melihat wajah nya sama sekali, Ia enggan.

"Pak, saya turun disini"

Zea pun turun dari taksi itu, dan kini Ia berada di depan sebuah panti asuhan.

Bayi di gendongan nya mulai merengek, mungkin Ia kedinginan karena hawa yang menusuk pada malam itu, tapi Zea tidak berniat untuk menenangkan nya sama sekali.

Ia langsung menaruh bayi itu di atas meja, dan saat itulah pertama kali nya Ia melihat dengan jelas wajah bayi nya.

Pendirian nya runtuh, Zea menahan tangis nya mati matian, tidak, menurutnya Ia tidak harus menangis karena harus meninggalkan bayi ini. "Kamu kuat, kamu bisa hidup disini tanpa saya, y-ya kamu pasti—" bahu nya mulai bergetar, tangis nya akhirnya meluruh juga sampai Ia tidak bisa mengatakan apapun lagi.

Until The End | HEERINA [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang