"Ara~ bukankah sangat enak memiliki anak perempuan yang rajin membantu?" Ucap Bi Yamashita, tetangga yang sedang berkunjung hari itu. Perempuan paruh baya itu datang membawakan buah tangan dari Hokkaido. Ayolah, cepatlah pergi. Hari ini sudah malam. [Name] ingin cepat-cepat membaca buku yang baru dipinjamnya dari perpustakaan kota. Semakin lama tamu ini di sini, semakin lama ibunya tertahan di sini, semakin lama [Name] akan masuk ke kamarnya!
[Name] meletakkan gelas yang berisi teh buatannya satu persatu ke atas meja. Di dalam hatinya, dia mengutuki perempuan yang tak kunjung pergi itu. Ini sudah gelas teh keduanya!
"Hoho~ Ini bukanlah apa-apa."
"Tidak, anak laki-lakiku sama sekali tidak membantu. Dia hanya bisa menonton televisi dan tidur." Keluh Bi Yamashita sembari memegangi sebelah pipinya. Ibunya terkekeh mendengar penuturan temannya. Gadis kecil itu duduk di samping ibunya, menatapi wanita tua itu.
"Namanya juga anak laki-laki."
"Iya, ini lah kesulitan memiliki anak laki-laki."
Hah? Bagaimana? Berapa kali pun [Name] mendengarkan kalimat itu, dia selalu tidak bisa mengerti. Apa-apaan sih, sialan? Memangnya kenapa jika dia laki-laki? Dia tidak harus membantu orangtuanya, sementara anak perempuan harus membantu orangtuanya? Gadis dengan surai yang masih panjang itu kini menggigit bibir bagian dalamnya. Lagi dan lagi dia merasa kesal. Apa yang ada di pikiran orang-orang tua kolot yang sialan ini?
"Oh iya, ku dengar [Name] mendapatkan posisi ke-dua di satu angkatannya. Sangat luar biasa." Perempuan itu tertawa kecil. [Name] mengulum bibirnya, merasa sedikit terhibur. Tetapi, bagaimana pun juga dia tak bisa tersenyum. Dia masih kesal setengah mati, dan akan selalu kesal setengah mati.
"Yah, sesungguhnya aku lebih memilih dia membantu ibunya, memijat ibunya, dari pada belajar. Bukankah itu tidak berguna? Dia juga akan pergi ke dapur nantinya."
"Hoho~ atau ke atas ranjang."
Ucap orang tua tanpa adab yang tak memiliki rasa malu.
Para orangtua bangsat.
Berhentilah menyamakannya dengan perempuan gila di sampingnya.
===============★================
Cahaya sang Bulan menyelusup masuk melalui jendela. Sayangnya, cahayanya tak mencukupi kebutuhan, membuat sebuah lilin harus dinyalakan di dalam ruangan sana. Dengan cahaya yang hangat itu, tangan gadis itu terus bermain dengan angka. Dia sedang memperkirakan berapa ukuran lensa yang harus dibuat, disesuaikan dengan jarak pandang. Dia tak kuasa menahan senyumnya saat membayangkan bagaimana wajah Senku saat nanti melihat teleskop ini.
Di saat itu, terbayang bagaimana wajah terkejut Senku. Wajah terkejut yang terasa sangat nyata, terasa seperti ingatan. Ingatan. Dia tersadar. Dia sudah menyelesaikan teleskopnya, sudah juga memamerkannya kepada Senku. Gadis itu tersegap. Tangannya mulai tampak bergetar, dia mulai menyadari pandangannya tak terasa nyata.
"[Name]."
Dia tersentak hebat saat mendengar suara itu. Suara yang tak pernah bisa dilupakannya. Suara paling mengerikan di dalam hidupnya. Suara yang selalu menghiasi semua mimpi buruknya. Suara dari hantu yang paling menyeramkan. Mulutnya terbuka, mulai mengeluarkan lenguhan yang tak dapat ditahannya. Dia mulai bergerak mundur, sialan. Sialan.
"Apakah kau lapar?"
Sosok perempuan itu menampakkan dirinya. Dia terduduk di lantai, bergerak maju perlahan dengan bantuan tangannya. Darah terus merembes dengan deras dari arah perutnya dan sebelah kakinya yang entah kemana. Rambut panjang itu menutupi wajahnya, tetapi [Name] bisa mengenalinya dengan sangat jelas. Perempuan dengan pakaian putih yang kini penuh dengan noda kemerahan. Orang yang paling dikenali oleh [Name].
KAMU SEDANG MEMBACA
Opportunity [I. Senku x Reader]
Fanfiction"Meski Merkurius lebih dekat dengan matahari tetapi Venus memiliki temperatur yang lebih panas. Kok bisa begitu? Terdengar keren!" Tanya gadis itu antusias. Matanya berbinar-binar kala mendengarkan ocehan dari anak laki-laki dengan sejuta pengetahua...