"Dunia ini terbagi atas dunia nyata dan gaib. Benarkah hal itu? Atau hanya buah pikiran manusia semata?"
"Jika kepercayaan kita juga hasil pikiran manusia, bukankah semua ini kebohongan besar?"
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang selama ini terngiang-ngiang di sanubari Nico Takamura. Hari itu hari ulang tahunnya yang kesepuluh dan perasaan Nico memuncak. Jangankan kue, tidak ada sedikit pun makanan di rumahnya. Semua orang di jalanan juga kelaparan. Nico tidak tahan lagi! Nico ingin bertanya dengan ibunya.
"Mama, apakah kepercayaan kita benar?" tanya Nico pada ibu yang baru pulang dari bertani.
Ibunya memanggul jerami di punggungnya dan tampak kelelahan. Peluh keringat dan benih-benih gandum berceceran masih berjatuhan, tetapi ia sudah ditanya pertanyaan aneh seperti itu. Ibu pun langsung terkejut dan marah.
"Demi Matahari!" Ibu melihat kanan-kiri dengan takut dan berharap tidak ada yang mendengar perkataan Nico. "Kau berani sekali berkata seperti itu? Minta ampun kau dengan Dewa nak! Semoga tidak ada yang dengar perkataanmu tadi."
"Tapi Mama, kita sudah berdoa setiap malam, setiap pagi hari tiba, dan setiap kita selesai bekerja. Lalu kenapa Papa tidak pernah pulang? Makan saja kita susah. Semua dikirim untuk ransum perang. Apakah Dewa melupakan kita?"
"Jaga mulutmu! Dewa tidak pernah lupa. Dewa selalu bersama kita, kaisar kita, dan panutan kita. Kau tidak mengerti karena belum dewasa!" Ibu sangat marah mendengar perkataan Nico. Ini kali pertama Nico melihatnya berteriak keras.
"Mama. Jika Dewa memang bersama kita, apa buktinya?"
"Menang perang buktinya!" teriak Ibu. Kali ini dia hampir menampar pipi Nico. Tangannya telah terangkat, tetapi terhenti di atas kepalanya.
Nico terdiam kemudian menunduk menatap kakinya sendiri.
"Jangan pernah pertanyakan Dewa. Tidak beriman. Kafir! Tidakkah kau lihat kaisar telah memenangkan ratusan perang di seluruh dataran Asia? Dewa berpihak padanya. Semua itu tidak cukup nyata bagimu?"
Nico terdiam karena selain takut, dia tidak ingin membuatnya marah. Tidak pada ibu yang telah melahirkannya.
"Ayo. Masuk rumah."
Nico masuk rumah dengan kesal. Dia tidak mengerti jalan pikiran orang dewasa. Apakah ia akan seperti itu juga saat dewasa nanti?
Nico lalu berbicara topik lain, tentang makanan atau apa saja. Ibu sangat baik; dia juga cepat mengganti arah pembicaraan. Mereka habiskan hari ini mengupas bawang di Teluk sambil berbicara tidak tentu arah.
Malamnya Nico kehausan. Dia lalu keluar mencari air minum. Jam dua tengah malam tepatnya, perasaan melankolis timbul saat Nico melihat ibunya yang tidur di atas tatami lusuh tampak semakin kurus. Ia melihat sendu rumahnya; satu ruangan kecil, tempat ia makan, hidup, tidur, dan kini terlihat seperti kandang yang bisa rubuh kapan saja.
Nico kemudian naik jalan setapak menuju kuil sambil terus berpikir apa yang harus dilakukannya esok hari untuk mencari makan.
Hampir tidak Nico sadari, ternyata langit di atasnya indah penuh kerlipan cahaya. Bulan tidak muncul sehingga bintang terang seperti ribuan kilau berlian.
Awalnya Nico berpikir yang berkelipan itu kunang-kunang terbang tinggi. Setelah diajari yang berkelipan itu pijaran bola gas, ia malah jadi tidak mengerti. Dia tidak pernah melihat bola gas berpijar selain lampu, dan lampu tidak bisa digantung di langit.
Tanpa disadari, ia telah berjalan sampai kuil. Pohon beringin di pinggir lapangan tampak menenangkan. Walau gelap, Nico masih bisa berjalan menyusuri ubin-ubin merah. Dia lalu sampai di tempat berdoa kuil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laputa and Castle in the Sky ( Fantasy, Romance, Bahasa Indonesia )
FantasyNicholas terlahir di akhir perang dunia kedua. Dia bertualang menuju tempat Mistis bernama Laputa, benua yang melayang di angkasa. Dia tidak pernah tahu ternyata dunia yang selama ini dikenalnya penuh dengan rahasia alam menakjubkan. Nico menya...