Seminggu kemudian
Saat ini pukul tiga dini hari, Hidden Hill Avenue senyap dan sunyi. Semua orang masih tidur di balik selimut tebal masing-masing yang hangat dan nyaman. Tidak ada orang keluar. Kabut putih masih tebal dan dingin. Walau dingin merasuk tulang, seorang perempuan tetap berjalan menembus tirai embun pagi. Dia keluar dari pintu rumahnya dengan susah payah. Langkahnya sangat berat, berusaha berjalan menuju pagar depan rumah layaknya menanggung suatu beban di punggungnya.
Berkerudung hitam, tongkat lusuh penopang kaki di tangan kanan, dan keranjang berenda di tangan kiri, membuatnya sekilas terlihat seperti nenek sihir yang biasa memberi apel beracun. Jubah hitam di belakang punggungnya terangkat ke udara seakan-akan terbuat dari kapas, bergerak-gerak ke segala arah layaknya ekor rubah.
Keranjang di tangan kanannya tampak berat dan sesekali bergeliat layaknya menyimpan mahluk di dalamnya. Perempuan yang membawanya tidak peduli keranjang itu meronta-ronta karena begitu tertatih-tatih, berusaha melangkah demi langkah.
Perempuan itu kemudian beristirahat di depan pagar rumahnya. Kakinya yang gemetar kecapekan menginjak palang Hidden Hill nomor lima belas yang terjatuh dari tempatnya. Rumah itu memiliki kolam renang di sisi halaman dan berbagai pohon cemara pendek yang menghiasi pinggir dinding rumah. Jika dilihat dari dekorasi dan bentuk potongan pagar tanaman, semuanya tertata rapi. Sangat jauh berbeda dengan penampilan perempuan itu yang acak-acakan seakan rumah itu bukan miliknya.
"Kenapa Loumpartnya di depan rumah ini?" kata perempuan itu terengah-engah, suaranya berbisik memecah keheningan.
Dia kemudian melihat sekitar seakan tengah mencari seseorang. Matanya menulusuri hal-hal kecil seperti daun jatuh, kerikil yang berserakan, menghitung jumlah pot, atau apa pun yang terasa asing atau ganjil di sekitarnya. Matanya terhenti pada lantai ubin trotoar. Sebuah lampu gantung tua menyinari jalan memberi dua bayangan pada tiang listrik. Hal yang tidak mungkin terjadi. Dia lalu bergumam, "Di sana rupanya kau, James. Sampai kapan mau tidur?"
Tiba-tiba bayangan tiang palsu di sebelah perempuan itu berdiri. Disertai suara decitan seperti suara tikus, bayangan itu terbelah, mengembang, dan memendek hingga seukuran manusia. Beberapa detik kemudian, bayangan berubah menjadi seorang pria muda tampan berjenggot tebal yang memakai jaket kulit tua berlubang termakan ngengat. Walau sudah berbentuk seperti manusia, kakinya masih hitam dan sekeras besi.
"Oh My God! Senter Cecilia!" Pria muda itu tampak kaget bukan kepalang ketika melihat perempuan di sebelahnya bungkuk mirip dengan nenek sihir. Tubuhnya terhenyak ke belakang. Kakinya yang keras beradu dengan aspal jalan mengeluarkan suara seperti kelontangan sampah kaleng. "Kenapa kau berjalan membungkuk seperti hantu-kuntil-anak? Aku baru bangun tidur sampai kaget. Hampir kukira kau menculik anak rumah ini."
"Oh dear. Aku tidak pernah ke sini. Berat sekali gravitasinya."
"Paling tidak kau harus berdiri tegak seperti aku, Senter. Apa yang kau takutkan? Tidak mungkin ada dewa kematian di sekitar sini." Pria muda itu mencibir. Dia tidak mengerti bagaimana susahnya perempuan itu berdiri.
"Oh, bukan dewa kematian yang kutakutkan, James. Kau masih setengah berubah, tentu tidak merasakannya. Apalagi aku harus menggendong anak ini," katanya. "Kau sendiri mengapa memilih bayangan tiang listrik? Agar tidak kedinginan menunggu semalam?"
"Ah, pantas aku tidak merasakan kakiku," kata James sambil melihat kakinya yang masih terbuat dari bayangan. Jemari tangannya kemudian membelai kakinya. Kilatan listrik biru perlahan menyambar dari sela-sela jari dan merubah kakinya kembali normal seperti biasa, yaitu sebuah sepatu kulit beruang cokelat tebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laputa and Castle in the Sky ( Fantasy, Romance, Bahasa Indonesia )
FantasíaNicholas terlahir di akhir perang dunia kedua. Dia bertualang menuju tempat Mistis bernama Laputa, benua yang melayang di angkasa. Dia tidak pernah tahu ternyata dunia yang selama ini dikenalnya penuh dengan rahasia alam menakjubkan. Nico menya...