Bab 7. Penyambutan Junior

899 48 11
                                    

Banyak orang menggeret koper barang dan berkeliling lapangan. Pegawai-pegawai pesta sewaan memasang lampu plasma tanpa kaca yang mengeluarkan filamen-filamen putih bagai benang menjalar ke mana-mana. Lampu itu dibuat melayang dengan sihir. Salah satunya melayang di atas Nico dan mulai menyambar-nyambar rambutnya hingga berdiri. Tabir cahaya seperti gulungan-gulungan ombak menutupi langit layaknya kubah dan melindungi lapangan dari hujan.

Nico kemudian penasaran kegunaan menara barat yang mengeluarkan putaran sinar lampu seperti mercusuar dan menara tua tenggara yang berbentuk seperti kincir angin Amsterdam, tetapi begitu melihat kadang-kadang muncul api dari salah satu jendela kamar asrama, Nico memutuskan tidak lagi bertanya tentang semua hal.

Meja kayu tua, vas dengan ujung sedikit pecah, dan kursi telur yang bantalnya robek membuat Nico menyesal memilih tempat duduk sebelah timur. Pantas tidak ada orang duduk di sekitarnya. Mereka memilih tempat meja lebih elit di sebelah barat yang tampak mengkilat. Setelah berpikir dua kali, Nico kan berada di dunia mistis. Siapa tahu tempat duduk sebelah timur diperuntukkan untuk mahluk-mahluk halus. Nico pun merinding dan berpikir untuk berpindah tempat duduk.

"Apakah aku boleh duduk di sini?"

Nico tersentak kaget. Seorang laki-laki seumuran dengannya membuyarkan lamunan Nico. Laki-laki itu membuka kursi di sebelahnya, tetapi tidak berani duduk karena Nico belum mengizinkan. Ia memegang koper bercorak polkadot merah, dan selimut bergambar beruang tidur.

Nico heran dengan wajahnya. Laki-laki itu berambut dan bermata cokelat susu. Tubuhnya kurus dan kecil sehingga perawakannya seperti manusia kertas. Wajahnya yang ganteng tidak sesuai dengan cara bicara dan raut mukanya yang polos. Jika ada istilah "cowok ganteng yang bisa ditaruh di saku dan ditenteng ke mana-mana," maka istilah itu cocok dengannya. Ketika tersenyum menyapa Nico, gigi kelincinya membuat wajahnya terlihat semakin bloon.

"Tentu saja," Nico senang akhirnya tidak duduk sendiri, tetapi merasa canggung karena pria inilah yang dilihatnya berkeliling lapangan sejak tadi. Nico berusaha membuat wajahnya tersenyum, tetapi mulutnya malah meringis.

"Saya Eris. Eris helmington," kata Eris sambil duduk di kursinya. Dasar suaranya lebih tinggi dari suara Nico.

"Namaku Nico," ujar Nico seraya menjabat tangannya.

"Kelihatannya kau tidak punya teman, duduk sendirian di sini? Aku juga belum punya teman," kata Eris. Dagunya ditinggikan dan matanya menyipit, dia seakan berharap dugaannya tidak salah.

"Ah, ya," jawab Nico. Eris tampak menghela napas lega karena dugaannya benar.

"Tetapi mengapa kau tadi keliling lapangan?" tanya Nico.

"Er ... tadi aku tidak yakin. Apakah tempat duduk ini untuk junior atau senior," jawab Eris sambil menunduk malu.

"Kau dari mana? Aku dari Kirimani," Eris berkata dengan ramah agar bisa berkenalan tetapi mukanya tampak canggung dan malu-malu.

"Aku dari ... kota Edin, Beautiful Hill."

"Edintown, Beautiful Hill? Kau dari Bumi? Earthling?" tanya Eris kaget.

"Ya." Nico mengangguk.

"Whoa!" Eris terlihat takut melihatnya. "Katanya kalian kuat-kuat. Benarkah?"

"Mu-mungkin," jawab Nico ragu.

"Kalian katanya pintar-pintar. Sudah masuk sekolah sejak kecil."

"Oh ... memangnya di sini mulai sekolah umur berapa?"

"Tidak ada. Belajar hanya untuk orang dewasa. Belajar kan susah, anak kecil mana mampu," kata Eris polos hingga membuat Nico berdeham menahan tawa. "Lagian mengikuti sekolah bukan budaya Laputa. Kami langsung kerja. Jadi maaf, kalau aku sedikit bodoh,"

Laputa and Castle in the Sky ( Fantasy, Romance, Bahasa Indonesia )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang