"Eris. Kenapa seperti ini? Kita di mana sebenarnya?" tanya Nico panik.
"Tapi tadi kau bilang ini Burglatch ...," gumam Eris pelan dan takut.
"Kukira juga begitu," rengek Nico.
"Ma ... Mama ...." Mata Eris melihat kanan-kiri. Pupil matanya mengecil dan gemetar. "Aku ingin pulang ...."
Tetes keringat ketakutan bercucuran di kening Nico. Walau lorong ini tidak panas, tapi punggungnya basah dengan keringat dingin. Investigasi atas rasa penasaran mereka tidaklah penting lagi. Mereka harus segera mencari jalan keluar dari tempat ini atau terpenjara menjadi mayat pengisi lorong. Nico sangat menyesal masuk lorong ini.
"Tempat ini lebih buruk dari koridor-gila. Kita tidak tahu mana depan dan belakang," kata Nico setelah berjalan tidak tentu arah. Eris dibelakangnya memegang lilin dengan gemetar.
Nico merasa masuk ruangan ini adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat seumur hidupnya. Mereka tidak tahu harus ke mana, jadi mereka memutuskan untuk masuk semakin dalam ketimbang berdiam diri di satu tempat. Jalan terus bercabang; lantai terus berputar; kini mereka berjalan mengikuti nasib saja. Mereka berharap kalau terus berjalan, nantinya akan bertemu pintu keluar.
Awalnya, Nico dan Eris ketakutan tiap tanah bergerumuh dan lorong berubah bentuk. Akan tetapi setelah setengah jam berjalan tidak tentu arah, mereka mulai terbiasa.
"Ini labirin mistis," gumam Eris begitu tanah bergerumuh dan dinding bergerak memberikan jalan bercabang.
"Labirin mistis?" tanya Nico bingung.
"Lihat lantainya, Nic." Eris menunjuk lantai yang penuh dengan tanah liat dan air. Tanah di sana tertekan dan membentuk bekas langkah yang membentang di depannya. "Semua ini jejak kaki kita. Selama ini kita hanya berputar-putar."
"Astaga," ujar Nico merinding saat melihat jejak di tanah sama dengan selop yang dipakainya.
"Labirin mistis tidak seperti labirin biasa. Selama kita tidak tahu rahasianya, kita tidak bisa keluar dari labirin ini."
"Kenapa ada labirin mistis di Burglatch?" tanya Nico keheranan.
"Ini belum tentu Burglatch. Bisa saja pintu kayu tadi pintu-ke mana-saja."
Mereka berdua terdiam. Nico tidak tahu harus ke mana. Kakinya telah capek berjalan tidak tentu arah. Eris tampak putus asa. Wajahnya sesuram malam. Matanya yang bergetar seakan ingin berkata, "Aku tidak ingin mati di sini."
"Eh, Ris. Kau punya terafonekan?" Nico mendadak mendapat ide.
"Terafone tidak nyala Nic," kata Eris sambil menekan-nekan telinganya sendiri dan tidak ada sirkuit cahaya yang muncul di depan matanya. "Jaringan telekomunikasi tidak sampai."
Nico lalu menghela napasnya. Selama ini dia berpikir kalau orang yang memasuki labirin adalah orang-orang bodoh karena mau mengikuti jalan yang dikarang oleh pembuatnya. Kalau tersesat, tentunya bisa manjat dinding labirin.
Nico menyesal pernah berpikiran seperti itu. Tahu seperti lorong tertutup begini, dia akan belajar bagaimana cara menaklukkan labirin. Paling tidak, dia harus menyimpan batu-penunjuk-jalan di sakunya. Seingatnya batu itu berserakan di gudang mistis Valerian.
Waktu berlalu. Mereka mulai lemas, letih, dan kelaparan. Kulit mereka mulai mengkilat teterpa cahaya lilin. Udara sangat lembab dan baju Nico basah dengan keringat. Eris sudah menyerah dan duduk di lantai dengan putus asa. Matanya sembab sayu seperti orang yang telah terdampar di pulau terpencil puluhan tahun. Setelah lama menunggu, tiba-tiba mata Nico melihat secercah cahaya di ujung lorong. Di sana dia melihat pantulan mata Aloura, kucing merah muda yang biasa ia lihat di hutan Simfoni. Aloura hanya setinggi betisnya dan membawa keranjang berisi daun cokelat. Karena Nico melihatnya, dia kabur menembus dinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laputa and Castle in the Sky ( Fantasy, Romance, Bahasa Indonesia )
FantasyNicholas terlahir di akhir perang dunia kedua. Dia bertualang menuju tempat Mistis bernama Laputa, benua yang melayang di angkasa. Dia tidak pernah tahu ternyata dunia yang selama ini dikenalnya penuh dengan rahasia alam menakjubkan. Nico menya...