Selalu transparan, tentu saja Beby. Perempuan yang mendadak terasa hilang di tengah keramaian ini. Setelah menyumbang emosi, seluruh temannya justru berpisah dan pergi. Beby sudah mencoba memanggil dan mencari yang lain. Sekali lagi dan selalu. Dirinya tak terlihat lalu dilupakan.
Beby tidak marah atas kejadian yang selalu ditimpanya. Ia mencoba memahami apa yang terjadi dan selalu dapat jawaban atas hal itu. Karenanya, Beby selalu tak punya waktu untuk marah, sebab semua selalu logis dan terasa tidak salah. Hari ini pun, ia tau jika kondisi temannya sedang tidak baik.
Mungkin dulu Beby menganggap dia sebagai pelengkap bagi temannya. Dianggap dan dipercayai sudah cukup sehingga ia merasa tak mendapat apa yang diberikan pada temannya juga tidak apa-apa selagi mereka masih ingin berhubungan baik dengan Beby. Namun lama-kelamaan dia kewalahan sendiri ketika harus mencari tau alasan ia sedih dan ketika ia harus meyakinkan jika temannya bukanlah orang yang harus disalahkan atas perasaannya.
Tapi entah kenapa situasi berbeda sekarang. Beby yang transpasan itu kini mulai sering ditemukan oleh seseorang. Keberadaannya yang selalu tak terasa itu mulai dianggap ada.
"Beb!" panggil Azrel melambaikan tangannya. Lelaki itu juga sendirian sekarang. Entah kemana tujuh temannya yang lain.
"Eh sumpah gue punya teh soal Faren," heboh Azrel bersemangat sendiri ingin berbagi cerita.
"Jangan bahas dia Jrel, gue gak mau denger soal Faren dulu," Beby menjawab reflek menutup telinganya.
"Gue juga tau lo sama temen sirkel lo itu kaga baik sama si Faren," bukannya berhenti, Azrel malah melanjutkan ceritanya itu. "Makanya lo kesel kan denger nama dia?" tebak lelaki itu kemudian.
"Sebenarnya hampir benar, tapi salah juga," ucap Beby melepas tangannya dari telinga. "Sebelum bertengkar karena masalah Annel, gue emang udah gak suka sama Faren. Dia suka gosip aneh soal gue," tambah Beby kini mendadak serius dengan topik yang harusnya jadi candaan aja bagi Azrel.
"Dia bilang apa soal lo?" tanya Azrel ikut serius menanggapi Beby.
"Gue perempuan gak bener katanya," jawab Beby tertawa ketir. Ia menertawakan dirinya sendiri.
"Hadeh pantes aja kemarin lo mukulnya semangat banget," lelaki itu selalu menunjukkan respon seolah apa yang Beby lakukan selalu tak salah dan berasalan. "Dia yang ngomong gitu gak akan pernah ngubah realita kalo lo cuma perempuan, gak lebih. Manusia kayak kita selalu punya alasan, lo juga. Kejadian yang udah lewat kemarin jangan dijadiin alat buat nyerang diri lo sendiri."
"Lo pasti anggap omongan Faren bener kan?" justru Azrel yang menyerangnya sekarang.
Beby tertawa lepas, sebab apa yang Azrel ucapkan nyaris benar. "Iya lagi aduh," jawabnya kini malah dia yang menjadikan hal ini sebagai candaan.
"Ye cemen, omongan orang kek Faren kok dipercaya," sewot Azrel sengaja tak ingin membuat percakapan mereka serius.
"Jujur-jujur aja gak sih? bukannya istilah perempuan bener itu gak salah juga? gue kan emang beneran aneh-aneh kemarin, gue minum, mabok, udah jelas kan itu semua sifatnya gak bener? jangan terlalu berpihak ke gue Jrel, apalagi cuma karena lo kasian," ucap Beby tiba-tiba. Perempuan itu menghela panjang, kemudian pergi dari lapangan sebelum Azrel menjawab dirinya.
Beby meledak. Perempuan itu semakin merasa jika keberadaan Azrel salah. Kenapa lelaki itu harus menjadi orang yang terus-terusan memvalidasi perasaan sedihnya? Kenapa harus dia yang menjadi samsak ketika Beby ingin memukul semua kesedihannya. Kenapa dia harus berurusan dengan orang tak jelas seperti dirinya? Jujur saja dibanding itu, Beby takut dirinya malah jatuh pada kebaikan yang Azrel berikan. Lelaki itu pantas punya kehidupan baik, Azrel tak boleh menanggung beban yang sama sekali tak ada kaitannya dengan dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eiplusei
Teen FictionSebuah kisah klise antara dua kubu yang punya dunianya masing-masing.