Prolog

56 4 0
                                    

Pemuda itu keluar dari ruang praktek nya, langit sore itu terlihat kelabu pertanda akan turun hujan. Pemuda yang masih mengenakan kemeja dan jas putih kebesarannya berlari menuju parkiran rumah sakit menuju dimana mobil nya terparkir.

Ia menyalakan mesin mobil menarik perseneling nya dan pergi menuju ke tempat dimana sang jantung hati berada.

Hampir setengah jam pemuda itu habiskan dalam perjalanan, dan akhirnya ia sampai bertepatan dengan hujan yang mengguyur dengan lebatnya.

Pemuda itu melangkah dengan cepat ralat setengah berlari masuk kerumah besar tempat seseorang yang ia sayangi berada.

Pintu besar itu dibuka dan ia dapati di dalam ruangan tersebut ada banyak orang dewasa didalamnya, pemuda itu terdiam di batas antara kusen pintu kamar seseorang yang terbaring lemah.

"Sena, masuk sini kenapa diam aja"

Suara lelaki setengah baya menginterupsi pemuda yang dipanggil sena, pemuda bernama Sena itu lantas memasuki kamar luas berisikan beberapa orang dewasa dan seorang sepuh yang terbaring di ranjang pesakitan nya.

Sena berdiri agak jauh dari orang yang berbaring dengan lemah, matanya tampak sudah lelah menghadapi jahat nya dunia, guratan tercetak pada wajah orang itu.

"Mas Nawa, cucu omah....."

Suara yang sudah tak asing ia dengar, 24 tahun hidupnya, Selalu ia habiskan dengan suara lembut perempuan tua itu.

Sena melangkah mendekat ke arah ranjang sang oma, orang dewasa disana hanya melihat interaksi ibu dan keponakan mereka.

"Oma, perempuan yang paling mas Nawa sayang. Oma kok ingkar? Oma janji bakal liat mas Nawa di sumpah dokter kan?"

"Sedikit lagi. Mas Nawa janji bakal sembuhin Oma, itu janji nawa kan. Tolong, tolong jangan pergi"

Sang oma hanya mendengar kan suara putus asa sang cucu, jemari yang lemah itu terangkat mengusap helaian rambut hitam legam milik sang cucu bungsu. Peninggalan terakhir dari putri cah ayu nya.

Air mata perempuan tua itu meluruh membasahi bantal yang ia tiduri.

"Mas, Oma sudah terlalu tua nak. Rasa ingin ber istirahat dengan luwes toh mas, mas Nawa Oma, ibu dan ayah mu bangga sekali punya cah bagus seperti mas Nawa"

"Oma memang salah toh ingkar janji sama mas Nawa, maaf ya cah bagus. Tapi rasanya omaa sudah cukup sekali melihat anak-anak dan cucu Oma semua nya berhasil. Cah bagus masih panjang toh perjalanan kamu? Masih ada banyak sekali orang-orang yang sayang sama cah bagus nya Oma ini. Oma sudah pesan ke pale dan Bu'le mu, ke mamas-mamas mu dan mbk yu- mbk yu mu"

"Baek-baek ya cah bagus. Sri, Sultan, dan Jeffry ibuk titip Lanang e Bayu sama iren ya ndok, ibu rasa ibu sudah sangat rindu baba kalian nak".

Ke tiga anak Rosa yang mendengar bahwa sang ibu, menitipkan anak bungsu dari mendiang kakak pertama mereka hanya bisa menunduk sambil mengangguk.

Sena hanya bisa terduduk sambil menggenggam tangan hangat dan lemah miliki sang oma, bagi Sena saat ini hanya rasa sedih yang ia miliki, selama ia hidup Oma nya adalah perempuan yang membesarkan nya.

Wanita tua ini membesar kan nya tanpa pamrih, ia ikhlas merawat cucu peninggalan putri nya.

Sena terus mendengar pesan dari sang oma, begitu juga paman dan bibinya. Sampai kalimat terakhir membuat suasana yang sudah sangat sendu semakin suram.

"Oma selalu berterima kasih sama Gusti nu-agung, karena diberkahi oleh anak-anak dan cucu yang baik, ibu cuma titip sama anak-anak ibu supaya akur ya, buat cucu-cucu Oma juga. Apalagi buat mas Nawa ini, doa nya oma dan ibu mu selalu menyertai kamu ya ndok"

Setelah kalimat itu sang nenek, sekaligus ibu dari ke tiga orang dewasa disana menghembuskan nafas terakhirnya dengan senyuman pertanda perempuan lembut itu tetap bahagia di akhir hidupnya, sekarang Rosa bisa melihat sang putri pertama dan suami nya yang berpulang lebih dulu darinya.

Di dalam ruangan dengan desain classic ala kraton itu hanya terdengar suara lirih tangis dan air mata.

"Setiap yang bernyawa pasti akan berpulang kembali pada sang pencipta, dan setiap pertemuan akan ada perpisahan juga setiap awal cerita pasti akan ada akhir cerita"









Satu bulan terlewati setelah kepergian sang oma terkasih, kepergian sang nenek membuat Sena tersesat, kepergian nya juga membuka luka lama di hati sang cucu.

Setelah segala nya selesai paman dan bibinya kini sedang mengurus aset kepemilikan sang nenek, memang itu sudah tertulis dalam surat wasiat terakhir yang di amanah oleh Oma nya kepada juru hukum pribadi nya.

Kini pak Setyo, ke dua pamannya yaitu sultan dan Jeffry beserta bibi bungsu nya Sri juga dirinya, sedang berada di ruang kerja mendiang sang oppa.

Untuk membicarakan perihal harta waris, harus nya kini yang berada disana adalah Bayu, sang ayah dan menantu pertama keluarga Pangestu.

Tetapi apa boleh buat ayah nya sedang melarikan diri dari rasa sedih karena kepergian sang ibu iren 10 tahun lalu, ibu nya sekaligus putri pertama keluarga Pangestu.

Pemuda bernama Jagawana Nawasena itu akhirnya bersedia menanda tangani surat alih waris kepemilikan Oma nya, ia sebagai cucu dari anak pertama Rosa dan cucu bungsu diberikan sebuah rumah senilai 500 juta.

Rumah milik mendiang sang ibunda tercinta iren, rumah itu dulu di alihkan atas nama Rosa selaku ibu dari iren, saat perempuan itu telah berpulang. Tapi kini Rosa mengembalikan rumah itu, karena sebenarnya iren pernah berpesan pada sang ibu.

Bahwa rumah tersebut adalah hak milik anak-anak nya kelak, tapi belum sempat iren memasuki usia pensiun, ia berpulang lebih dulu ketimbang sang ibunda.

"Baik urusan pengalihan nama harta waris telah selesai, semua aset telah di bagi sesuai amanat dari ibu Rosa, saya selaku juru hukum pribadi nyonya Rosa meminta maaf apabila selama saya bertugas ada hal yang menyinggung keluarga besar Pangestu"

"Dan untuk itu saya juga mengucapkan berbela sungkawa atas berpulangnya nyonya Rosa"

"Saya dan adik-adik juga anak-anak kami, meminta maaf apabila berbuat salah. Juga kami keluarga besar Pangestu sangat berterima kasih pada tuan Setyo atas bantuannya selama ini" itu sultan anak kedua keluarga Pangestu.

Setelah melakukan serah terima warisan Setyo pamit undur diri, ruangan itu sunyi kembali.

"Mas Sena, mau ikut Bibi nak?"

Itu Sri, putri terakhir keluarga Pangestu. Sena hanya menatap wajah sang bibi, suaranya kelu dan seperti hilang.

"Sayang jangan seperti ini, masih ada bibi paman sultan dan paman Jeff nak. Kamu gak sendiri baba mu juga pasti kembali bibi yakin"

"Mas Nawa, paman Jeff mau mas Nawa ikut paman ke Aussie setelah mas Nawa lulus dan di sumpah nanti, mas Nawa mau?" Tanya Jeff pada sang ponakan. Ia begitu terpukul sebab sang kakak iren telah berpulang, dan ia berfikir keponakan nya akan baik-baik saja bersama sang ipar Bayu, selaku ayah Sena tapi ia salah Bayu pergi dan menitipkan Sena yang berumur 14 tahun itu kepada sang ibu, Rosa.

Jeff awalnya marah dan berjanji akan menghajar sang ipar, tapi setelah Rosa memberitahukan sebuah cerita Jeffry hanya bisa diam. Begitu juga ke dua saudara lainnya sultan sang putra ke dua dan Sri si bungsu, mereka ber 3 hanya bisa diam sambil sesekali memberikan kasih sayang pada sang ponakan.

Tanpa ada jarak ke tiga nya sama-sama memberikan kasih sayang sama rata dengan anak kandung mereka untuk sang keponakan.

Melihat Sena yang berangsur bangkit setelah apa yang terjadi pada nya, membuat ke tiga orang dewasa itu senang. Tapi sepertinya tuhan masih ingin menguji keponakan mereka, tepat di ulang tahunnya Sena pemuda itu mendapat kan hadiah yang besar.

Sebuah rumah besar peninggalan sang ibunda dan ditinggalkan oleh mendiang sang nenek selamanya.

Pukulan terberat untuk pemuda itu, baik Jeffry, sultan dan Sri sangat terpukul tapi bagaimana dengan Sena yang sudah kehilangan untuk yang kesekian kalinya.

Mangka dari itu Jeffry, sultan dan Sri mencoba untuk membuat sena masuk ke dalam keluarga mereka, dalam artian sesungguhnya. Mereka ingin mengadopsi Sena tapi hanya gelengan yang mereka dapatkan dari si pemuda 24 THN tersebut.

POLARISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang