Bab 12

3.2K 122 0
                                    

Kehamilan Ayra sudah menginjak 12 minggu. Perutnya hanya bertambah maju sedikit dari sebelumnya. Meski begitu, dia mulai memakai pakaian yang sedikit longgar agar lebih nyaman bagi dirinya dan calon bayinya.

Morning sicknessnya masih suka muncul tiba-tiba yang anehnya bukan di pagi hari melainkan siang atau sore hari. Serta sesekali di malam hari ketika entah kenapa bisa dia merindukan Adrian.

Pagi ini dia merasa segar, karena oleh dokter dilarang terlalu lelah untuk trimester pertama, maka setiap hari dia pulang pergi tepat waktu menggunakan taksi agar nyaman. Sama seperti pagi ini.

Taksinya baru saja tiba di lobby kantor. Dia melihat beberapa karyawan berkumpul di papan pengumuman seperti membaca sesuatu. Sebenarnya Ayra ingin ikut melihat tapi takut berdesakan yang akan membahayakan perutnya.

Dia pun naik ke lantai kerjanya dan masuk ke ruangannya. Kebiasaan barunya, setiap pagi dia akan memakan cemilan biskuit untuk mengisi perutnya. Ayra tidak bisa makan nasi, bahkan dia mual ketika melihat nasi. Sehingga biskuit dan roti adalah alternatif makannya.

Pintu ruangannya diketuk dari luar, Ayra merapikan dulu mejanya sebelum menyuruh seseorang dari luar masuk. Kehamilannya sengaja dirahasiakan olehnya karena dia ingin segera bercerai dengan Adrian. Makanya semua orang tanpa terkecuali, tidak dia beritahukan mengenai keadaannya sekarang.

"Maaf, Bu. Jam 11 siang nanti diundang acara penyambutan Direktur Pemasaran yang baru di Resto Sushi depan kantor."

"Hah? Direktur Pemasaran baru? Emang Pak Agus kemana?" Tanya Ayra.

"Pindah divisi, Bu. Ke Procurement." Ayra mengangguk.

"Harus dateng?" Tanya Ayra.

Sebenarnya tidak ada masalah baginya, tapi sushi.. yang berarti nasi.. akan ditemui siang ini. Ayra takut mualnya kambuh kembali.

"Harus, Bu. Atas permintaan Direktur Pemasarannya sendiri." Ayra mengangkat kedua alisnya.

"Emang siapa? Saya kenal?" Sekretarisnya terkekeh sebelum menjawab.

Terlihat tidak sopan memang, tapi pertanyaan Ayra justru terlihat lucu baginya. Dia mengangguk. Masih tidak percaya jika atasannya ini tidak tahu.

"Pak Adrian. Suami Ibu." Mata Ayra membulat.

"Adrian?" Sekretarisnya kembali mengangguk sambil pamit keluar ruangan.

Syok. Itu yang dirasakan Ayra saat ini. Bahkan saking syoknya dia kembali mual. Membuatnya harus beberapa kali keluar masuk kamar mandi. Mualnya ini sama sekali tidak hilang, setiap dia ingat kalau orang yang harus ditemuinya adalah Adrian, perutnya langsung mual tak tertahankan.

Asupan pagi ini sangat sedikit bagi Ayra dan dia harus mengeluarkannya kembali semua saat muntah tadi yang membuatnya terlihat pucat dan lemas.

"Wah, serangan hari ini benar-benar dahsyat." Ucap Ayra mencoba melucu untuk dirinya sendiri.

Pintu kembali diketuk dari luar, sekretarisnya masuk kembali untuk mengingatkan Ayra mengenai acara siang ini tapi langsung diurungkan saat melihat wajah pucat Ayra.

"Ibu kenapa? Sakit? Perlu saya bawa ke dokter?" Tanyanya bertubi-tubi sambil mendekat ke arah Ayra mencoba memberi pertolongan yang dibutuhkan.

Ayra menggeleng. Dia memang terlihat sakit dan pucat tapi tidak perlu dibawa ke dokter. Justru dia ingin istirahat di apartemen saat ini.

"Nggak usah, saya ijin pulang ajah. Tolong kamu urus ijin saya ya. Saya mau pulang sekarang."

"I.. iya, bu. Nanti saya bantu urus. Ayo saya bantu sampai lobby sambil saya pesankan taksi." Ayra mengangguk.

Love ExpiredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang