Preface

5.4K 110 1
                                    

Kira-kira hampir lima belas menit di dalam ruang rias itu, Marylou duduk di depan cermin mematut bayangannya sendiri. Benaknya bertanya-tanya, sanggupkah dia melakukan itu? Menikah dengan seseorang yang bahkan tidak dicintainya?

Kau bodoh, Mary, begitulah batinnya berkata berulang kali semenjak dia meninggalkan Joseph Bieber, demi Peter Nicolson. Jelas-jelas dia mengambil keputusan yang salah. Namun, bukankah Marylou tidak bersalah? Sebab selama ini Jo terlalu abu-abu baginya. Hanya ada ketidakpastian di antara mereka seperti jalan lurus yang kemudian dipisahkan oleh kelokan. Mereka berbeda ideologi. Jika Marylou pribadi yang ekstrovet, lain halnya dengan Joseph yang terlalu tertutup.

Untuk yang terakhir kalinya, Mary menghembuskan napas pendek. Dipejamkan matanya selama beberapa detik sekedar menenangkan diri sebelum keluar dari ruang itu, berjalan menuju altar menjemput pengantinnya, mengucapkan janji suci di depan pastor. Meikahi orang yang tidak dicintainya. Oh, sial. Mary terlalu terlambat untuk berbalik dan mengejar Jo.

Pada akhirnya, kelopak matanya yang dihiasi eyeshadow hitam samar dengan bulu mata lentik yang diberi maskara—menjadikan bulu matanya semakin panjang dan melengkung indah—pun terbuka. Dia menyambar buket bunga mawar putih yang dirangkai oleh salah seorang kerabat dekat Peter. Wajah Mary tegang, seolah dia hendak dihadapkan oleh hakim di dalam sebuah pengadilan. Mary beranjak dari tempat duduknya, mengangkat gaun pengantin berwarna putih gading yang didesain sangat sederhana namun tak jauh dari kesan royal, lantas berjalan pelan menuju keluar setelah mendengar suara Madison, sepupunya.

Bunyi dentuman piano mengiringi langkah kaki Mary menuju altar, menyusuri karpet merah yang dibentangkan panjang yang justru mengingatkannya pada acara red carpet yang sering didatanginya. Terakhir kali dia melangkah di red carpet adalah ketika menerima penghargaan berkat kerja kerasnya sebagai partner Jo di proyek film baru mereka. Bukannya semakin tenang, Mary justru merasakan ada benda tumpul yang merangsek di dalam dadanya, menghimpitnya seolah tak ada ruang lagi baginya untuk bernapas.

Tangannya menggamit lengan pendampingnya, seorang paman dari keluarga ibunya. Pandangan Mary diedarkan di barisan tempat duduk tamu undangan. Ada banyak kerabat dekat dan jauh dari keluarganya, keluarga Peter, bahkan kawan-kawan seprofesinya yang berdiri menyambut kedatangannya. Namun dia tidak melihat adiknya, Caitlin. Kemana gadis itu?

Mata Mary membulat mendapati sosok Joseph Bieber yang berdiri di tengah-tengah tamu undangan. Senyuman penuh arti Jo yang dirindukan oleh Mary tampak di bibirnya. Marylou mengerjapkan matanya sejenak, sekedar bertanya dalam hati, benarkah lelaki itu Jo? Joseph Robert Bieber? Meredakan emosi yang bergejolak dalam hatinya, Mary menggigit bawah bibirnya. Tatapan matanya tetap diarahkan untuk Joseph, tidak peduli pengantin pria yang telah menunggunya di depan pastor.

Lamat-lamat, Jo berjalan menepis kerumunan tamu undangan yang menyambut kedatangan Mary. Pria itu sampai di depan Mary, yang sontak membuat perhatian seluruh tamu undangan tertuju padanya. Bahkan Mary perlu menghentikan langkahnya melihat Jo yang sudah berdiri di depannya, menghadangnya, seakan pria itu tidak membiarkan Mary meneruskan langkahnya.

Tangan Jo meraih tangan Mary, menggenggamnya erat. Lantas, dia berbisik pelan, "Ikutlah denganku, Marylou."

"Kau gila?" Mary memekik, mencoba menarik tangannya dari genggaman Jo. "Minggirlah, kau menghalangi jalanku, Jo."

"Tidak akan." Rahang Jo mengeras. Sudut matanya bergerak melirik paman Mary yang sudah berdehem dengan mata memelotot memperingatkan.

Enggan melepaskan tangan Mary, alih-alih Jo menarik Mary pergi. Membiarkan buket bunga yang digenggam oleh Mary jatuh berantakan. Kelopaknya berhamburan di mana-mana bersamaan dengan suara riuh di dalam gereja itu.

Perfect Redemption (Sequel of Perfect Revenge) by Loveyta ChenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang