13. Rumah Seno

307 48 32
                                    

 "Lo napa ngide banget sih, pake ikut Seno pulang segala," keluh Wanda yang sudah bersiap di atas motor beat kesayangannya.

"Kan gue yang ikut, kenapa lo yang ribet sih," lirik Neela seraya berjalan menuju motor milik Seno.

Laki-laki itu mengulurkan tangannya untuk menyambut totebag milik Neela untuk dia letakkan di centelan depan. Jadi, Neela tidak kesusahan ketika membonceng dirinya nanti.

Mereka bertiga, Wanda, Neela, dan Juna memutuskan untuk ikut Seno pulang ke rumah dalam rangka libur semester ini. Tentu saja tidak akan lama, mereka hanya akan menginap untuk tiga hari dua malam, dan sisanya akan dihabiskan di rumah masing-masing.

"Senoo, titip anak gue ya. Kalo ribet buang aja!" teriak Nada – Mamanya Neela, dari teras rumah. Perempuan yang wajahnya tidak terlalu mirip dengan Neela – kecuali mata besarnya – melambaikan tangan sebelum kembali masuk ke dalam rumah.

Menurut Juna, Mamanya Neela itu sangat keren. Bahkan ketika sedang bersama dengan Neela pun, mereka berdua tampak seperti kakak adik saking santainya gaya bicara mereka.

"Gue udah kirim maps terbaru ke grup. Kalo ketinggalan telpon Neela aja," intruksi Seno yang diiyakan oleh ketiganya.

"Ntar di perbatasan kota mampir pom bensin ya, Sen. Mau gue isi full dulu," ucap Wanda setelah melihat indikator bensinnya yang masih beberapa kotak itu.

Semua rencana ini bermula ketika Juna berpikir tentang tempat magangnya untuk semester depan. Dia merasa tidak memiliki banyak informasi terkait tempat magang di peternakan sapi.

Sejak awal, Juna selalu bercerita kalau dia sangat ingin magang di peternakan sapi karena dia mulai memiliki minat besar di per-sapi-an. Mulai dari situ, Seno bercerita kalau dia memiki pertenakan sapi yang dikelola keluarga dan ada beberapa anak sapi yang baru saja lahir.

Walaupun bukan peternakan yang besar, tapi cukuplah kalau hanya untuk membiayai kuliah Seno sampai lulus.

Pada akhirnya setelah mendengar cerita tersebut, Juna ingin berkunjung ke sana saat libur semester sebelum dia pulang ke rumah.

Ternyata bukan hanya Juna yang berminat pergi, ada Neela yang tampak bersemangat untuk bepergian ke luar kota.

"Gue jarang keluar kota taukk, sibuk ngurusin kosan."

Kurang lebih begitulah keluh kesah Neela ketika dia bersikukuh untuk ikut pulang ke rumah Seno.

"Nggak usah ngajak, gue mau pulang ke rumah!" balas Wanda ketika Neela melemparkan tatapan ke Wanda, berharap laki-laki itu ikut dengan mereka.

Setiap hari, laki-laki itu selalu menolak ajakan untuk ikut pergi. Namun, entah apa yang merasuki Wanda kemarin, hingga akhirnya laki-laki itu setuju untuk ikut. Tapi tetap saja harus ada syarat dan ketentuan yang berlaku.

Pertama, bensin ditanggung bersama. Kedua, bayar makan pakai uang masing-masing, jangan ada utang karena akan ditinggal liburan. Ketiga, Juna dan Neela pulang naik bis, karena Wanda akan langsung pulang ke rumahnya dari rumah Seno.

Ketiga persyaratan tersebut langsung disambut dengan semangat oleh Juna dan Neela. Keduanya saling mengaitkan lengannya saking senangnya. Akhirnya mereka bisa merasakan berpergian bersama, walaupun hanya ke rumah Seno.


^_^


"Woaaah, keren." Juna tertegun melihat rumah Seno yang sederhana dan segala fasilitas yang ada. "Seno, orang kaya."

"Lebih kaya lo, Jun. Ini nggak sebanding sama mobil mahal lo," ucap Seno merendah yang kemudian menggiring ketiga temannya itu untuk menuju satu rumah yang tidak terlalu besar itu.

Hal yang membuat Juna terkejut itu adalah tata letak rumah Seno. Awalnya, ketika mereka masuk dari gapura dusun, suasananya masih biasa seperti rumah-rumah pada umumnya.

Namun ketika mereka berbelok tepat di samping pepohonan bambu dengan lebar tiga meter yang rimbun, seketika Juna meragukan kalau ini adalah jalan yang benar.

Belum sempat protes, Juna bisa melihat halaman yang sangat luas dengan tiga rumah di ujung sana. Benar-benar hanya ada tiga rumah itu saja.

Rumah pertama itu adalah rumah paling besar dengan teras luas nan rapi. Rumah kedua dengan ukuran sedang terlihat agak nyetrik dengan cat berwarna hijaunya. Terakhir rumah paling kecil yang menjadi tempat pemberhentian mereka berempat.

"Rumah gue yang kecil, Jun." Seno menunjuk rumah dengan cat berwarna krem itu, dan masuk ke dalamnya. "Masuk dulu, mama gue udah masak buat kita. Ntar malem gue ajak ke alun-alun."

Juna yang sangat bersemangat itu, menyusul Seno dan langsung melemparkan diri ke atas kasur yang sengaja diletakkan di depan tv.

"Sen, kamar mandi dong," ucap Neela yang dibalas Seno dengan menunjukkan kamar mandi untuk Neela.

Juna yang semula tiduran pun merubah posisi menjadi duduk di atas kasur, "Seno ngontrak di sini ya? Rumahnya kayak kontrakan petakan yang di kota-kota besar."

Mendengar pertanyaan dari Juna, Seno pun tertawa, "nggak, ini beneran rumah gue. Bukan nyewa."

"Senooo," panggil seseorang dari luar yang langsung disambut hangat oleh Seno.

"Kenapa, Yah?" Seno pun keluar dari rumah namun hanya sampai ambang pintu saja.

Wanda yang sudah tidak bertenaga itu pun hanya bisa menoleh dengan lemas. Laki-laki itu duduk di lantai dengan bersandar pada tembok yang sama dengan Juna.

"Mamah udah selesai tuh masaknya. Ajakin temenmu makan, gih!"

Obrolan kedua orang tersebut bisa terdengar jelas oleh Wanda dan Juna yang berada di depan tv.

Ketika intruksi telah disampaikan, Seno pun kembali masuk dan menggiring mereka bertiga untuk ke rumah yang berukuran lebih besar dari ini setelah Neela selesai dari kamar mandi.

"Rumah siapa?" tanya Neela tanpa suara pada Wanda dan Juna ketika mereka berjalan di belakang Seno.

"Rumah orang tua gue, rumah yang paling gede itu rumahnya Simbah," jelas Seno tanpa menoleh, laki-laki itu fokus membuka pintu rumah. Ketiganya pun hanya bisa saling lirik kebingungan.

Saat mereka masuk, mereka pun disambut dengan suara berisik dan memanggil-manggil nama Seno. Seorang gadis kecil berlari menghampiri Seno dan tentu saja langsung disambut hangat oleh laki-laki itu.

"Bang ceno, kangen." Gadis kecil berumur empat tahunan itu memeluk leher Seno dengan erat.

Neela kembali penasaran dengan situasi yang sedang mereka hadapi ini. Seno tidak pernah menceritakan ini kepada Neela, mungkin tidak juga ke Juna dan Wanda, karena mereka berdua juga tampak sama bingungnya dengan Neela.

"Sania, yuk kenalan sama temen abang. Ini kak Neela, kak Wanda, kak Juna."

Gadis kecil itu sangat manis dan penurut ketika Seno memintanya untuk menyalami ketiga temannya secara bergantian. "Nama aku Cania kak, adiknya bang Ceno."

Neela menyenggol lengan Seno dan membuat laki-laki itu menoleh, "kok lo nggak pernah cerita kalo lo punya adek sih?"

Bukannya menjawab, Seno malah mengeluarkan senyum khasnya kemudian menuju meja makan dengan Sania di pangkuannya.

"Sania sama ayah.., eh papa dulu ya. Abang mau makan dulu, nanti main lagi," ucap Seno dengan lembut yang langsung disetujui oleh adiknya itu.

"Ayah? Papa?" anggap saja Neela terlalu kepo dengan urusan rumah Seno yang satu ini. Tapi tentu saja bukan hanya Neela saja yang bingung, Wanda dan Juna pun begitu.

"Iyaa bapak sambung," jawab Seno dengan santainya. "Ayah itu bapak sambung gue."

"HAAH?" jawaban kompak ketiga teman Seno yang bahkan tidak laki-laki itu duga.

Next Door!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang