3. Kelas

476 63 3
                                    

Lima belas menit lagi kelas Neela akan segera di mulai. Kelas pagi satu-satunya di semester ini yang sangat tidak Neela sukai.

Selain karena diadakan di pagi hari, ada juga dosen muda yang terkenal pelit nilai jika tidak sesuai dengan kriteria penilaiannya.

Neela bahkan tidak sempat menata rambutnya yang biasa dia tata sedemikian rupa, entah dikuncir tinggi, dicatok, atau dikepang. Hari ini dia hanya menyisirnya asal, lalu mengenakan topi hitam andalannya.

"Iyaa iya, gue udah bangun. Nggak usah ditelpon teruss," keluh Neela tanpa mengangkat telepon dari teman sekelasnya itu. Dia masih sibuk mengenakan sepatu di teras rumah.

Selesai mengenakan sepatu, Neela segera bergegas mengeluarkan sepeda listrik merahnya. Saat dia menutup gerbang rumah, dia mendapati Seno yang sudah siap di atas motor varionya.

Sedari tadi laki-laki itu juga memperhatikan Neela yang grusak grusuk sambil tersenyum.

"Napa lo senyam senyum?" sewot Neela seraya naik ke sepeda listriknya.

"Manasin motor," jawab Seno yang pagi ini mengenakan kemeja kotak-kotak warna merah dengan kaos hitam di dalamnya.

"Gue pergi dulu, byee," pamit Neela namun terhenti ketika mendengar gerbang kosan terbuka lalu seorang laki-laki keluar.

Perempuan yang mengenakan kemeja biru muda dan celana jeans dengan warna senada melirik Wanda yang tampak mengucir rambutnya yang memang agak panjang itu.

"Waah cantik sekali princessnya mamah, sudah mandi, sudah pake bedak wangi, utututu," goda Neela puas, sedangkan Wanda melirik sinis.

Laki-laki berkucir itu lalu naik ke jok belakang motor yang dibawa Seno, tanpa ada niatan menanggapi Neela.

"Sekelas sama Neela nggak?" tanya Seno menoleh ke belakang. Wanda menggeleng. "Beneran ke gedung E?"

"Iya, kelas gue di gedung jurusan lo," jelas Wanda lagi.

Semalam Wanda bertanya ke Seno tentang kelas E5R1 itu di sebelah mana, karena dia belum pernah ada kelas di gedung itu. Gedung itu terkenal dengan orang-orang yang beda alam karena kebanyakan anak peternakan dan teknologi pangan jarang berbaur dengan jurusan lain.

"Lo ngapain ke alam lain?" tanya Neela dengan menyebutkan istilah 'legend' yang diberikan ke anak gedung itu.

"Kelas Prof Heri." Wanda memperhatikan jam tangannya, lalu menepuk bahu Seno panik, "buruaan, ntar kita telat."

Neela yang mendengar, ikut panik seraya melihat jam tangan yang dia sematkan di tangan kirinya. "Anjing!" umpat Neela lalu pergi berlalu tanpa berpamitan dengan Seno dan Wanda.

"Yakin ke gedung E?" tanya Seno lagi seraya melajukan motor maticnya menuju kampus sebelum penumpang di belakangnya mengamuk.


^_^


Seno merapikan catatan lalu memasukkan ke dalam tas selepang hitamnya. Seseorang menoleh ke belakang yang membuat Seno menegakkan badannya.

"Lo ada jadwal ke kandang kan nanti?" tanya seorang perempuan yang merupakan teman sekelas Seno.

Laki-laki itu mengangguk dengan senyumnya.

"Lo seneng banget kayaknya ada jadwal ke kandang."

"Nggak juga," sanggah Seno yang membuat perempuan itu mengerutkan dahinya tidak percaya.

"Yaudaah, ketemu lagi di kandang ya, No," pamit temannya itu, lalu Seno ikut keluar kelas untuk menghampiri Wanda yang menunggunya di lantai satu.

Lift gedung E dikenal dengan penggunaannya yang tidak pernah sepi kecuali malam hari. Orang mana yang mau naik turun tangga untuk ke kelas jika disediakan lift.

Seno masuk ke dalam lift yang ternyata hanya ada seorang laki-laki mengenakan hoodie abu-abu hingga menutupi kepala. Laki-laki itu sedang sibuk dengan ponselnya.

Seno kenal orang itu.

"Eh Jun, dari mana lo?" sapa Seno ramah, laki-laki yang dipanggil Juna itu melepas earphone di telinganya.

"Dari lab, ngumpulin laprak acara satu," jawab Juna seraya memasukkan earphonenya ke saku celana.

Juna ini termasuk orang yang sangat sulit didekati. Tidak banyak yang bisa berteman akrab dengan Juna, karena dari luar Juna terlihat seperti anak antisosial.

Bahkan Seno pun belum bisa berteman akrab dengan laki-laki ini, karena Juna bukan tipe yang akan berbicara lebih dulu ke lawan bicara kecuali diperlukan.

"Lo jadwal ke kandang kapan?" tanya Seno ketika pintu lift terbuka di lantai satu.

Mereka berjalan beriringan menuju pintu keluar. Seno sudah bisa melihat Wanda yang sedang duduk dengan bermain dengan ponselnya.

"Besok," jawab Juna singkat, "Seno, duluan ya."

Juna pamit bertepatan dengan Wanda yang menghampiri Seno. Wanda memperhatika interaksi dua orang yang bisa dia pastikan mereka berdua teman sejurusan.

"Dia wibu ya?" tanya Wanda sesaat setelah memperhatikan penampilan dan gaya bicara Juna.

"Bukan sih. Dia cuma agak kurang berbaur, orang-orang bilangnya dia ansos," sanggah Seno dengan menjelaskan rumor yang beredar di kalangan angkatannya.

Wanda hanya mengangguk paham. Kalau diingat kembali, jangan menilai seseorang dari penampilannya.

Tapi, menurut Wanda si Juna Juna itu, memiliki aura penyuka animenya sangat kuat.

"Lo mau makan nggak, Sen?" tanya Wanda sesaat setelah mereka sampai di parkiran.

Mata laki-laki itu memperhatikan arah kantin fakultas yang tampak ramai. Sekarang masih jam sepuluh, jam sarapan sudah lewat, jam makan siang belum waktunya.

"Makan, gue laper nggak sempet sarapan," jawab Seno seraya mengeluarkan motor dengan dibantu tarikan kecil Wanda di bagian belakang motor.

"Pliss, jangan ayam," pinta Wanda yang hari ini sangat enggan untuk makan ayam. Dipikirannya saat ini hanya ada mie ayam. Tapi tetap saja, hidangan itu mengandung ayam di dalamnya.

"Okee, gado-gado," putus Seno, tanpa menunggu persetujuan Wanda, Seno melajukan motornya ke arah belakang kampus tempat penjual gado-gado.

Sampai di depan fakultas mipa, dia melihat seorang perempuan mengedarai sepeda listrik dengan pelan. Seno mengenali perempuan itu dari belakang, penampilannya masih sama.

"Nilaa, duluan yaaaa," teriak Seno ketika melewati Neela, tangannya melambai hingga beberapa meter ke depan.

Wanda yang sedang berfokus pada ponselnya, tidak menyadari ketika dia melewati Neela jika tidak mendengar teriakan Seno.

Ketika motor mereka menjauh, Wanda menoleh ke belakang. Benar saja, ada Neela yang tetap mengendarai sepeda listriknya dengan santai.

"Jun, duluan," sapa Seno lagi pada Juna yang mengendarai sepeda listrik. Sapaan Seno membuat Wanda menoleh ke belakang lagi namun terlambat karena mereka berbelok.

"Lo emang anaknya ramah gini ya, Sen?" tanya Wanda penasaran karena sejauh ini, Seno selalu menjadi orang yang pertama menyapa dan mengawali pembicaraan.

"Nggak juga," jawab Seno dengan tawa kecilnya.

Next Door!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang