22. Amarah

158 24 0
                                    

"Mending lo pergi deh," usir Neela seraya membenarkan posisi selimutnya.

Wanda benar-benar ragu untuk meninggalkan Neela sendirian di rumah. Sepulang dari medical center, Wanda selalu menemani Neela walau hanya sekedar menonton TV bersama tanpa mengatakan apapun.

Nada – Mamanya Neela tadi sempat memberi kabar kalau dia baru bisa sampai rumah di keesokan harinya. Kakek Neela yang katanya mau datang pun hingga saat ini tidak ada kabar.

"Nggak usah nungguin akung, dia pasti lagi sibuk," ucap Neela ketika Wanda menjelaskan alasannya tetap menemani Neela hingga orang lain datang untuk menggantikannya.

Laki-laki itu tampak sangat gelisah. Terlihat jelas dari gelagatnya yang selalu memperhatikan ponsel dan jam dinding secara bergantian. Neela juga bisa melihat kalau Wanda ditelpon hingga beberapa kali tapi memilih untuk dia angkat.

"Sumpah, Wan. Gue nggak apa apa sendirian."

"Nggak bisa, Nil. Gue udah janji sama mama lo," tolak Wanda yang membuat Neela menghela napasnya lelah.

Laki-laki itu sangat keras kepala.

Sebuah ketukan pintu mengalihkan fokus Wanda pada ponsel di tangannya. Dia menoleh sekilas ke arah Neela sebelum melihat si pengetuk pintu tersebut.

Saat Wanda membuka pintu, matanya seketika berbinar dan langsung menarik orang tersebut menuju ruang tengah tempat Neela tidur.

Neela memang sengaja meminta untuk tidur di ruang tengah yang memang sudah ada kasur di sana karena tidak ingin membiarkan laki-laki itu masuk ke dalam kamarnya jika hanya berdua.

"Pas banget lo dateng." Wanda mempersembahkan orang yang dia tarik tadi untuk dia perlihatkan kepada Neela. "Gue titip Neela buat malem ini ya, Sen. Gue ada acara undangan di dua tempat, dan nggak ada pengganti."

Penjelasan Wanda membuat Neela menggeram kesal. Ide Wanda sangatlah buruk mengingat Neela masih tidak ingin bertemu apalagi berbicara dengan Seno.

"Wan..." belum sempat Neela mengucapkan sepatah kata, laki-laki itu menyela.

"Sumpah Nil, jujur gue mau nemenin lo sesuai janji gue ke mama lo. Tapi ternyata yang ini bener bener nggak bisa ditinggal."

Neela berdecak kesal, "gue dari tadi udah bilang lo pergi, nggak usah cari pengganti."

"Nggak bisa, Nil. Kalo lo tiba tiba pingsan lagi gimana?"

"Nggak akan, Wan!"

"Iya iya terseraah." Wanda sangat malas berdebat dengan Neela, "Sen, temenin Neela dulu ya. Kalau semisal akungnya dia nggak dateng, tolong temenin manusia ngeyel ini sampe besok."

Seno yang tampak sangat patuh itu pun hanya bisa mengangguk paham. Wanda yang sudah sangat dikejar waktu itupun akhirnya pamit undur diri ketika jam menunjukkan pukul tujuh malam.

"Gue ambil barang di kosan dulu," ucap Seno karena dia perlu membawa beberapa barang sembari menjaga Neela.

"Lo nggak perlu nemenin gue, pulang aja nggak apa apa," ucap Neela yang masih terdengar kesal di telinga Seno.

"Gue ambil dulu." Seno tersenyum sekilas sebelum keluar dari rumah Neela.

Senyum laki-laki tampak sangat berbeda dari biasanya. Tidak ada senyum khas milik Seno, yang terlihat seperti senyum yang menyiratkan sebuah perasaan yang misterius.

Si pemilik senyum khas itu kali ini sangat tidak tertebak. Bagaimana bisa seseorang yang biasa menjadi penengah dan pemberi kata bijak bisa mengatakan hal semenyakitkan itu kepada Neela.

Perempuan itu tidak habis pikir, dia kira Seno adalah salah satu orang yang dewasa diantara temannya yang lain. Namun, sepertinya penilaianya salah, dia sama saja dengan yang lain.

Suka berkomentar dan menilai jika tidak sesuai dengan yang ada dalam prinsipnya. Ck, menyebalkan. Neela bahkan enggan mendengarkan ucapan Seno sesaat setelah laki-laki itu mencapnya sebagai manusia egois.

"Gue sambil ngerjain laprak buat deadline besok ya, Nil," ucap Seno membuyarkan lamunan Neela.

Laki-laki itu menenteng sebuah tas dan mengangkat sebuah meja kecil untuk duduk di sebelah kasur lantai yang sedang ditiduri perempuan itu. Semua gerak-gerik Seno tidak terlepas dari pandangan Neela bahkan ketika laki-laki pergi ke dapur untuk mengambil minum untuknya.

Beberapa menit sibuk mengerjakan laporan tulis tangan, beberapa menit mengerjakan dengan laptop, beberapa menit kemudian scroll sosmed atau sekedar berbalas pesan. Begitu terus hingga jam dinding menunjukkan pukul setengah sembilan malam.

"Lo udah makan belum?" Seno menoleh ke arah Neela yang sedang memperhatikan TV dan Seno bergantian.

"Udah sama Wanda," balas Neela yang dibalas dengan anggukan oleh Seno.

Sebelum Wanda pamit, laki-laki itu sudah menyampaikan semua kepada Seno. Neela sudah makan dan minum obat, belum ingin tidur dan ingin menonton TV, jangan menunggu kedatangann Akung, Mamanya akan datang besok pagi atau mungkin siang karena sedang di luar kota.

Wanda juga mengatakan kalau cemilan ada di atas meja makan. Beberapa kali Seno sudah menawari, tetapi selalu ditolak oleh Neela.

"Lo nggak makan malem?" tanya Neela sedikit khawatir karena sepertinya sejak tadi Seno hanya fokus dengan tugasnya.

"Aman, Nil. Nanti kalo laper gue cari keluar."

"Di meja makan ada roti, ambil aja. Ada pisang juga tapi di meja dapur."

"Okee, nanti gue ambil kalo laper."

Penolakan dan sikap dingin Seno sekarang tampak sangat menyebalkan bagi Neela. Bagaimana bisa laki-laki itu hanya menungguinya tampak mengajak berbicara.

Bahkan setelah ucapan kasarnya, dia bersikap seakan tidak terjadi apa apa dan tidak ada perkataan maaf keluar dari mulutnya.

"Ck, nyebelin."

"Hah, kenapa Nil?" Wajah plonga plongo Seno semakin membuat Neela kesal, dia bangun dari posisi tidurannya.

"Lo tuh nyebelin banget!" suara Neela meninggi yang membuat Seno sedikit terkejut dengan perubahan suasana hati dari Neela.

"Bentar Nil, lo jangan marah dulu. Lo masih sakit."

"Tapi yang bikin sakit orangnya di sini, ya gimana mau sembuh."

Seno menghela napasnya, sejak datang kesini dadanya sangat sesak seperti ada sesuatu yang membebani. Melihat wajah kesal Neela semakin membuatnya merasa sangat bersalah. Ternyata Neela sakit salah satu penyebabnya adalah ucapan kasarnya.

"Lo masih diem dan nggak mau minta maaf ke gue?" ucap Neela tanpa melihat ke arah Seno dan memilih untuk melihat sekeliling.

"Bukan nggak mau minta maaf, gue ngomong sekata aja lo marah besar apalagi gue minta maaf ke lo."

Benar juga. Melihat sosok Seno saja sudah membuatnya marah apalagi mendengar suara laki-laki itu.

"Gue pikir lo tuh beda dari yang lain, ternyata sama saja suka menilai dari sudut pandang lo berdasarkan cerita gue."

"Lo mau dengerin gue dulu apa nunggu marah lo ilang dulu?"

"Marah dulu."

Seno mengangguk paham, kemudian mengalihkan fokusnya ke laptopnya lagi. Mengerjakan tugas yang hanta tersisa sedikit itu. Sedangkan Neela menggeram kesal, seraya mengepalkan kedua tangannya. Rasanya ingin meninju laki-laki itu, tapi Neela sadar kalau dia akan kalah tenaga dengan laki-laki besar itu.

"Gue udah nggak marah."

Next Door!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang