Dukungan

201 24 12
                                    

Di hari itu polisi datang, keadaan rumahnya pun menjadi ribut.

Aku dan Iofi mencoba menenangkan Moona yang sedang dalam traumanya saat itu.

"Moona?"

Moona terus menangis dalam diam. Aku tidak tau apa yang harus dilakukan karena kami memang tidak pernah mengira hal seperti ini akan terjadi.

Noda merah yang sebelumnya ia sentuh masih membekas di tangannya. Kini sosok wanita yang ia idolakan telah tiada.

Tidak sampai di situ, karena depresi ayahnya melakukan aksi bunuh diri, di depan matanya.

"Maafin papa ya, Moonie."

Kejadian itu menambah luka padanya. Dirinya yang masih dalam masa pertumbuhan sudah menyimpan banyak ketakutan. Sejak saat itu sifatnya mulai berubah. Di sekolah pun Moona lebih sering diam, bahkan kami jarang bermain lagi dengannya selama beberapa bulan.

"Moona, main yuk." Moona selalu tidak merespon.

"Ayo kita ke rumahku, katanya ibu mau ketemu lagi sama kamu." Aku menarik Moona sekuat tenaga. "Dorong dia, Yop!"

Iofi mengangguk, akhirnya Moona menurut setelah lama dibujuk, secara paksa. Meski saat di rumahku kami tidak melakukan apa pun, setidaknya ini progres untuk membangun kembali hubungan kami dan ya, sedikit demi sedikit Moona mulai kembali energinya.

Apalagi dengannya, ibuku. Beliau yang membuatnya mendapatkan kembali semua yang ia perlukan, cinta. Kadang aku iri karena merasa kasih sayangku dicuri darinya.

Iofi dan aku memasang wajah masam melihat Moona yang dimanja.

"Iri."

"Apalagi aku. Anaknya siapa, yang diperhatiin siapa."

Tapi mengingat yang terjadi sebelumnya, tak apa lah. Namun tak jauh setelah itu, ibuku jatuh sakit. Beliau diberi perawatan di rumah sakit dan tentunya aku harus membiayai biayanya. Untungnya dengan memancing setiap minggu, aku dapat penghasilan yang lumayan.

"Emang iya?"

"Diem, Yop. Aku lagi jadi narator."

Ya setidaknya aku masih bisa bayar cicilan yang terus bertambah meski belum lunas. Di saat yang sama Moona menginjak tahun ke enam di sekolah dasar dan saat itu sifatnya hampir sepenuhnya berubah. Sifat diamnya itu mulai tergantikan setelah mengikuti sebuah geng jalanan.

Ia mulai melakukan hal nakal di sekolah maupun luar sekolah. Uang, adalah alasan utama di balik semua itu. Memang siapa sih yang tidak butuh uang. Bahkan karena itu dirinya sempat tinggal kelas sekali dan secara tidak sengaja kami bertiga jadi teman sekelas.

"Moona ayo kita belajar, kamu gak berniat tinggal setahun lagi, kan? Pokoknya kita harus lulus bareng-bareng!" Iofi mencoba membujuk Moona yang malas bergerak.

Singkat cerita kami lulus bersama dan melanjutkan sekolah di tempat yang sama. Untungnya tidak ada SPP atau biaya lainnya, jadi kami bisa lebih santai sekarang. Meski sampai saat ini tidak ada yang berubah.

***

"Walau sudah cukup lama kejadian itu masih membekas bahkan buatku." Risu termenung. "Dan bagian terburuknya …."

"Pelakunya belum ketemu ya?" ucap Iofi melanjutkan.

"Pokoknya kalian harus baikan. Wajib, wajib!" rengek Risu sambil mengguncang tubuh Iofi.

"Iya iya tau! Nanti aku cari dia, deh."

Di waktu istirahat, mereka pun berkumpul di tempat biasa mereka berkumpul. Canggung. Sepi. Tidak ada interaksi. Risu muak.

Harmoni Anak SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang