Malam Berdarah

132 18 10
                                    

Malam itu, jam 23.05. Suasana rumah begitu hening. Namun, terdengar suara Halilintar memecahkan kesunyian, "Bunda! Bunda!" panggil Hali sambil berlari kecil, "Bunda malam-malam begini mau pergi ke mana?" tanyanya.

"Pssst! Mereka berdua sedang tidur kamu tahu," bisik Bunda, berusaha agar anak-anaknya tidak terbangun.

"Iya! Hali tau kok, Bun. Tapi, Bunda
belum menjawab pertanyaan Hali sama sekali," ujar Hali dengan sabar.

"Bunda hanya mau pergi sebentar, dan masih perlu minjam uang ke tetangga lainnya," jelas Bunda dengan lembut.

"Tapi itu hanya akan menambah beban pikiran Bunda, lagipula ini hampir tengah malam. Orang-orang pasti sudah pada tidur," kata Hali.

"Ayah juga tidak tahu pergi kemana, gak pulang-pulang, sudah gak mau kerja lagi, dengan alasan sakit, suka marah-marah sama Bunda, nyakitin Bunda, bukannya minta maaf atas kesalahan nya malah kabur dari rumah," tambah Hali meroasting.

"Tak apa, Hali. Bunda akan segera kembali. Jaga baik-baik adik-adikmu," kata Bunda sambil mencium kening Hali dengan penuh kasih sebelum mendekati ke pintu keluar.

Namun, saat hendak keluar, Bunda teringat sesuatu, "Eh astaga, jaketnya kelupaan," gumam Bunda terkekeh menyadari kecerobohannya.

Tiba-tiba, Bunda terkejut melihat Hali berlari cepat menuju kamar. "Ini Bunda, jaketnya," ujar Hali sambil memberikan jaket yang tertinggal.

"Terima kasih Halikuu~ anak baik~ eh?" ucap Bunda, sedikit bingung
saat melihat Hali yang tampak
tidak ingin melepaskan jaket itu.

"H-Hali pengen ikut jugaa,"

"Oh. Anakku begitu menggemaskan!! Aku tidak bisa menolaknya. Ayo, ikut Bunda naik ke motor, kita akan pergi,"

Halilintar duduk di depan motor yang telah siap melaju. Bunda melajukan motor dengan perlahan. Suara gemuruh mesin motor menembus hening malam yang sepi. Bunda dan Halilintar menatap jalanan yang lenggang, membiarkan rambut mereka tergerai terbawa oleh hembusan angin.

Perjalanan mereka berdua berlanjut. Ke tujuan yang telah di tentukan, melewati jalan-jalan yang sepi dan hening. Cahaya lampu jalan yang redup menjadi penerangan satu-satunya di sekitar mereka.

Di tengah malam, tiba-tiba ada seseorang yang mencegah mereka di tepi jalan. Sosok itu muncul di bawah cahaya lampu yang sedang berkedip-kedip, dia berdiri sendiri di tengah jalan. Lampu jalan yang berkedip-kedip menyoroti wajahnya yang bengis dengan tatapan tajam.

Bunda dan Hali nampak terkejut dan mengurangi kecepatan motor mereka. Suara gemuruh mesin motor terdengar redup, digantikan oleh suara langkah-langkah pelan yang mendekat. "Ma-mas, sedang apa, mas?"

"MINGGIR KAMU!"

"ArGggH!!" pekik Hali terjatuh dari motor, dia meringis di ikuti rasa sakit yang menusuk tubuhnya. Dengan mata membulat sempurna, ia menengok ke belakang punggung Ayahnya rupanya tersembunyi sebuah pisau. Sedetik kemudian sebilah pisau itu di tusuk
ke dada sang Bunda berkali-kali.

"Berjanjilah kamu tidak akan mengulanginya lagi," ujar Bunda memberikan jari kelingking. Hali
segera menautkan jari kecilnya
sebagai tanda ia telah berjanji.

Dengan suara gemetar dan napas tersengal-sengal, Bunda mencoba bersuara, "H-haa-lih.... Per-gi....
A-nak... Baik... Bun-da..."

Tidak bisa, kakiku mati rasa.

"Huff... Huff... Apa yang telah aku lakukan?" racau Ayahnya tidak jelas.

Bruk!

Tubuh kecil itu terbaring ke tanah dengan tubuhnya yang bersimbah darah. Raut wajahnya yang kuat bekerja dan tahan banting kini
terlihat rapuh dan lemah.

Air mata deras mulai menetes dari mata Halilintar. Rasa tidak berdaya meliputi dirinya saat menyaksikan Bunda terluka di hadapannya.

Ayah menatap bolak-balik ke arah almarhum Istri dan anak sulungnya yang sedang terduduk lemas di jalan aspal. Dia berdiri di sana merenung- kan segala tindakan buruk yang telah di lakukannya. Ia meraih sebatang rokok dari kotaknya, lalu menyalakan ujungnya dengan api kecil dengan korek api. Dengan perlahan, ia mulai menghirup dalam-dalam, lalu dia membiarkan asap tipis dan wangi tembakau memenuhi udara.

"Hali, Ayah akan menyerahkan diri. Tapi kau harus bisa menerima dua
hal. Pertama, kau harus menerima
dengan tegas kalau kau adalah
keturunanku. Dan kedua, kau
harus menerima ajal Bundamu,"

Halilintar merenungkan setiap kata yang diucapkan Ayah. Kata-kata yang terdengar begitu berat di telinganya, dan rasa kekosongan mulai merasuki hatinya. "Ayah...," ucap Hali dengan suara ragu, "Aku... Aku tidak tahu...
Apa yang harus kukatakan..."

Halilintar tersenyum pahit, "Kalau aku keturunan ayah, mengapa ayah melakukan hal-hal yang menyakitkan?" lirih Hali.

Ayah menghela napas panjang, matanya sesaat terlihat kosong, sebelum ia menjawab, "Aku tidak bisa memberikan alasan yang tepat, Hali. Yang bisa Ayah katakan, Ayah menyesal... dan kasian melihat nasibmu yang sama denganku."

"APA MAKSUDMU!! AYAH! BERITAHU AKU!" Teriak Hali dengan napas terengah-engah. Air mata yang tak tertahankan meluncur di pipi Hali.

"Bahu kirimu tersayat, bodoh. Jangan sampai kau kehilangan banyak darah, atau kau akan mati," desak Ayah.

"Masa bodo denganku!" potong Hali.

"Ikuti jalan ini dan kau akan menemukan satu rumah," ujar
Ayah menghiraukan Hali, sambil mengarahkan arah yang di maksud.

"Kau jangan sok peduli!! Ingat apa yang telah kau lakukan pada kami!!" Hali menelan ludahnya dengan berat, "KATAKAN PADAKU, AYAH!!" teriak Hali, dengan penuh kebencian dalam suaranya, menuntut penjelasan
yang tak kunjung di jawab.

Beliau tidak menanggapi ku

Halilintar berpikir sejenak atas perkataan Ayahnya, lalu melirik
ke arah bahunya yang terluka
parah akibat sayatan pisau.

"Ayah benar, kan? Pastikan kau tetap berhati-hati," ujar Ayah, sebelum melanjutkan perjalanannya dengan menaiki sepeda motornya dan meninggalkan Hali seorang diri.

"Aku tidak mau mendengarkan
itu darimu. Sialan," desis Hali mengeluarkan kata kotor dari mulutnya untuk pertama kalinya.

Halilintar memegang bawah lengan kiri baju pendeknya, lalu dengan langkah yang tertatih-tatih ia menghampiri bundanya, "Bu-nda ma-afff... Bunda... Gapapa?... Jangan nangis... Hali gapapa kok," ucapnya berusaha menangis dalam hati. Namun, tak mampu menahan emosinya lagi, Hali pun langsung menangis tersengguk-sengguk, ia membiarkan air matanya mengalir.

Angin sejuk membelai lembut kulit halus Hali saat ia, seorang anak kecil berumur 7 tahun, harus berjalan kaki seorang diri melewati kegelapan jalan pada malam hari. Dengan terpaksa,
dia harus meninggalkan bundanya sendirian demi meminta pertolongan.

Saat Hali mengetok pintu, tidak ada jawaban lantas Hali menggedor-gedor pintu lebih kuat dari pada sebelumnya.

"Iyaa tungguu, loh dek? Kamu siapa?"

Halilintar tak mampu menjawab, kepalanya hanya bisa tertunduk,
dia bisa merasakan kepalanya
yang seperti berkunang-kunang.

"Astaghfirullah!! Darah!! Darah!!"

Tanpa aba-aba Hali jatuh pingsan, tersungkur tanpa daya di depan pintu. Namun, untungnya ada seseorang yang berhasil menangkapnya tepat waktu.

- Bersambung...

Di Balik Keluarga CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang