Strategi Darurat

91 15 33
                                    

Di dalam kamar sempit yang hangat Halilintar, Taufan, dan Gempa sedang berbaring di kasur yang mereka bagi jadi tiga. Taufan berada paling tengah, dengan Hali di sebelah kirinya dan Gempa di sebelah kanannya.

Suasana kamar terasa tenang
dan damai, dengan cahaya redup lampu malam yang menyala pelan.
Gempa menyeritkan dahinya pelan dengan rasa bingung, "Tunggu dulu. Siapa itu Pak Man Nemra?" tanyanya.

"Yang kamu sebut bapak tiri, itulah," ujar Taufan sambil menggeliat untuk mencari posisi tidur yang nyaman.

Hali menyambung, "Guru agama, tapi sekarang sudah dipindahkan ke SMA Abang dan menjadi kepala sekolah."

Taufan tertawa, "Betul-betul! Pak Man Nemra rambutnya keriting kayak mie!"

Hali mendengus ringan, "Bahkan kalau namanya di balik, jadinya Pak Man Ramen," ucapnya tertawa kecil.

"Iyaa! Bener banget! Bwahahahaha!"

"Kata bang upan gak sopan mengejek Pak Man Nemra karena dia kaspek,"

"Hehehehe,"

"Tapi omong-omong kenapa Pak Man Nemra mau membayar administrasi Kak Hali dulu, di rumah sakit? Apakah Hubungannya benar-benar menjadi bapak tiri sekarang?" tanya Gempa.

"Bukanlah! Alasannya... Karena dia orang baik... Benarkan, Kak Hali?"

"Benar. Mungkin, kita sudah banyak di bantu oleh beliau. Aku ingin sekali bertemu. Namun, beliau sangat sibuk mengurusi pekerjaannya," ujar Hali.

Gempa mendengus pelan, "Begitu, jadi bukan ayah tiri? Yah Sayang banget."

"Tidak-tidak, kenapa malah kamu
yang murung?" protes Taufan.

"Ngomong-ngomong perut kalian
tidak ada yang lapar? Sudah berapa lama kita bercerita?" tanya Hali
sambil beranjak dari kasur.

"Sebentarr Kak Halii, Bang upan
masih belum cerita tentang kalian berdua berjualan risol!" kata Gempa cepat sebelum Hali benar-benar berdiri dari tempat tidurnya.

Hali memandang Taufan dengan tatapan yang tajam, dia berdecak,
kemudian mengangguk paham.

"Ekhem!"

-

"Nak Hali, bisakah kau mengangkat pasir itu?" tanya sang Boss, suaranya terdengar lugas di area kontruksi.

"Ya pak," jawab Hali dengan sigap, tanpa ragu ia mulai mencongkel seluruh pasir dengan sekop dan meletakkannya dengan hati-hati
ke dalam gerobak sorong.

Ketika gerobak tersebut penuh
dengan pasir, Hali bergegas menuju truk sesuai perintah dari sang Boss.

"Nak Hali, bisakah kau mengangkut batu bata itu?" tanya Boss, sambil mengamati Hali dengan perasaan bangga, melihat Hali bekerja keras.

"Ya pak," jawabnya tanpa ragu.

"Hei lihat itu, kerja anak itu lumayan juga, hebat ya dia," puji beberapa rekan kerja yang menyaksikan kegigihan Hali dalam bekerja.

"Ha, ha, Anak rekomendasi saye tuh,"

Hingga sore hari menjelang,
Hali terus bekerja dengan penuh semangat. Keringat yang membasahi tubuhnya menjadi tanda bahwa ia telah memberikan segala usaha terbaiknya dalam pekerjaan.

"Halilintar, pekerjaanmu hari ini sangat baik. Ambil uang ini," ujar
sang Boss sambil memberikan sejumlah uang pada Hali.

"Te-terima kasih, engkong, Hiks..." ucap Hali dengan suara yang terputus-putus. Merasa terharu karena kerja kerasnya telah dihargai dan diakui oleh Boss.

Di Balik Keluarga CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang