Rumor sang Ayah

88 9 18
                                    

"Eh! Bu Salwa, tahu tidak. Berita sedang hangat di perbincangkan? Katanya ada kasus pembunuhan
di desa ini. Di kabarkan oleh Polsek pelaku sudah di tangkap. Namun,
tewas di dalam sel penjara karena depresi setelah membunuh istrinya dan mati gantung diri," ujar salah satu wanita yang sedang memilih sayur.

"Iya benar! Aku sempat mendengar beritanya. Kasian sekali Bu Mara.
Aku jadi sedikit menyesal karena
tidak meminjamkan uang. Beberapa hari yang lalu, Mara datang sendiri
ke rumahku dan ingin meminjam uang untuk membeli bensin. Tapi waktu itu aku juga sedang tidak memegang
uang. Aku takut digentayangi!"

"Ah, masa sih Bu Suci? Saya tidak percaya," kata Ibu Salwa, seorang wanita lainnya IRT yang berhenti
sejenak memilah-milah sayur.

Pada siang yang cerah, para ibu-ibu di lingkungan sekitar berkumpul di sekitar gerobak sayur keliling yang di penuhi dengan beragam sayuran yang segar. Benar. Mereka sedang berbincang sembari berbelanja.

Tidak jauh dari tempat itu. Di balik pagar yang tinggi, di area kontruksi, Halilintar memperhatikan percakapan para Ibu-ibu yang sedang berbelanja. Namun, Halilintar tetap tenang dan tidak memberikan reaksi apapun.

"Begitu. Jadi itu rencanamu, bundir? Dasar ayah yang bodoh. Kau layak untuk di benci," -Batin Halilintar.

"Kamu sedang apa, Hali?" tanya Zola, tiba-tiba datang menghampiri Hali.

"Tidak, bukan apa-apa. Tadi aku di suruh Tuan boss menghantarkan kalian kopi, LAGI," jawab Hali
dengan nada yang menekan.

"Amboiii, santai dong, Hali. Pekerja
di sini memang terlalu banyak, tapi ada beberapa yang belum kembali. Sepertinya mereka sedang bertugas sebagai tukang borongan dan ada juga beberapa tukang harian," terangnya.

Hali memutar kedua matanya ke atas, "Ouh.. Ya.. Kira-kira berapa gajiku," gumamnya dengan rasa penasaran.

"Hehe, kamu liat aja nanti," katanya.

"Om Zola, kerjanya apa?" tanya Hali.

"O'om jadi kenek," jawabnya, santai.

"Ohh," sahutnya sambil mengangguk.

.

Langit mulai terhias warna-warna orange dan merah mewah saat matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Suara riuh area kontruksi pun pelan-pelan mereda, digantikan oleh gemerincing alat-alat kerja yang ditutup satu per satu. Orang-orang mulai mempersiapkan diri untuk pulang setelah seharian bekerja keras.

"Engkong, apa kau tidak ingin memberiku uang?" tanya Hali.

"Hm? Tapi kamu hanya membuat kopi perjam dalam sehari, apa yang kamu harapkan?" respon sang Boss ragu.

"Hali tahu, engkong berpikir aku
cuma membuat kopi untuk anak
buahmu. Tetapi engkong salah, Hali
sebenarnya memperhatikan pegawai yang sedang bekerja. Tidak secara
menyeluruh, namun sedikit demi sedikit, aku dapat beradaptasi, belajar dan bekerja di sini sebagai pegawai resmi," jelas Hali dengan tegas.

Sang Boss hanya mengelus janggut panjangnya dan ia mulai tersenyum dan bertanya, "Hali, berapa usiamu?"

"Tujuh tahun. Yatim Piyatu dan mempunyai dua saudara laki-laki,"

-

"Kak Hali!!"

Hali menghela napas, "Kak Hali lelah. Ayo kita pulang sekarang," ucap Hali.

"Baiik!! Tante! Terima kasih untuk makanannya!!" seru Taufan, lantang.

.

Mereka pun bergegas pulang menuju rumah setelah hari yang penuh dengan aktivitas. Gempa, yang kehabisan tenaga akibat bermain seharian akhirnya tertidur pulas di punggung Hali. Taufan, juga sudah merasa puas karena mengacak-acak keranjang mainan. Hali yang kelelahan karena
di suruh membuat kopi berkali-kali.

"Apa itu? Sebuah rantang?" tanya Hali.

Taufan mengangguk antusias, "Hu'um! Tante Mazila yang memberikannya,"

"Syukurlah. Kita bersama-sama
harus berterima kasih kepadanya,"

Cahaya senja yang merah jambu perlahan mulai memudar dengan turunnya kegelapan malam saat mereka memasuki rumah.

Gempa yang sudah tertidur pulas
di bopong oleh Hali ke ruang tidur. Taufan, dengan lembut, menutup
pintu dan merasakan ketenangan
di hatinya begitu langkah mereka
telah melintasi ambang pintu.

Keesokan paginya. Hali melihat sebuah piala penghargaan juara memancing milik ayahnya yang terpajang di atas lemari, lalu terlintas ide di pikirannya.

"Kak Hali, Ayo kita makan lalu pergi ke sekolah," kata Taufan sembari makan di lantai, sibuk menyuapi Gempa, makan dengan lauk seadanya.

"Ya, Baiklah.." sahut Hali sambil diam-diam memasukan piala
tersebut ke dalam tasnya.

"Kak Hali, jagain Gempa, Dadah!" pekik Taufan menjauh dari Hali.

"Hmm..." gumam Hali sambil melirik Gempa yang digendongnya dari depan.

.

Di kelas 2A, di pagi yang cerah.
Pak Man Nemra memasuki kelas, semua murid dengan cepat berdiri
dan memberikan salam hormat.

"Assalamualaikum," salam bapak itu.

"Waalaikumsalam. Siap! Selamat pagi pakkk!" serentak semuanya berteriak.

"Selamat pagi, anak-anak. Apa kabar hari ini?" tanyanya dengan senyum.

"Baiikkk pakk!!" jawab semua murid.

"Syukurlah.. Silahkan duduk," ucap Man Nemra sambil mengajak mereka untuk duduk di tempat masing-masing.

Benar, Pak Man Nemra adalah seorang Guru yang mendalami ajaran-ajaran spritual untuk disampaikan kepada murid-muridnya. Di sekolah mayoritas tingkat SD, hanya memiliki satu wali kelas yang mengajar semua mata pelajaran, kecuali pembelajaran Agama dan Penjas/Pjok.

Man Nemra tertegun, "Taufan, apakah kamu punya beberapa menit untuk berbicara dengan saya?" katanya.

Taufan mengangguk, "Tentu Pak."

"Ini tentang sesuatu yang serius, Taufan. Saya mendengarnya kabar
ini dari Ibu Warni, bahwa Bunda
kamu telah meninggal dunia."

Taufan terdiam, "Bundaku?
Ada apa dengan Bundaku, Pak?"

"Taufan, Bunda kamu telah pergi
ke tempat yang lebih baik. Dia telah meninggalkan kita untuk selamanya."

"Ah, aku tahu itu dari Kak Hali."

"Saya tahu ini sulit di pahami, Taufan. Seseorang yang kita cintai meninggalkan kita bukan berati dia tidak lagi mencintai kita. Terkadang,  hal-hal yang terlalu berat tidak bisa kita pahami dan ungkapkan secara langsung. Bapak yakin, Bundamu ingin yang terbaik untukmu, Taufan. Dia selalu melindungi dan menjagamu, bahkan ketika dia telah pergi."

Pak Man Nemra kemudian menatap
ke arah murid-murid yang duduk tenang, "Anak-anak yang lainnya paham kan maksud dari omongan Bapak? Semoga dapat menjadi pembelajaran bagi kita,"

.

"Taufan, saya dengar kamu juga abai terhadap Ayahmu. Kamu tidak boleh bersikap tidak peduli seperti itu apalagi dengan ayah kandungmu."

"Apa aku pernah mengatakan seperti itu? Teman-teman? Ada yang ingat?"

Semua teman-temannya menggeleng.

"Fan? Taufan! TAUFAN!"

"Alamak! Eh... Ya! Kak Hali. Aku gapapa kok, hehe," teriak Taufan sambil tersadar dari lamunannya.

"Ada apa? Apa kamu sudah lapar? Tunggu sebentar lagi," ujar Hali.

"Ini Dek, uangnya. Sepakat, paman akan beli seharga 750.000. Terima kasih untuk pialanya, ya, Dek,"

"Iya, sama-sama uncle," jawab Hali.

"Woahh!! Banyak sekali uang! Bolehkah kita pulang beli bakso?" tanya Taufan, "Boleh," jawabnya.

"YEAY! Sayang Kak Haliii!!" sorak Taufan girang, sedangkan Gempa
juga ikutan tertawa kecil bersama.

-Bersambung...

Di Balik Keluarga CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang