Taufan Punya Cerita

118 12 30
                                    

Saat menjelang malam, Gempa duduk sendiri di sudut kamar dengan buku ditangannya, "Mpa, apa cita-citamu, nanti?" tanya Taufan tiba-tiba masuk ke dalam kamar menghidupkan lampu sambil menutup jendela dan gorden.

"Kenapa tiba-tiba nanya gitu?" tanya Gempa menoleh ke arah Taufan.

"Tak apa, cuma kepo aja, maklumlah~" Tatapan lembutnya terpancar dari mata Sapphire,"Soalnya Abang tahu, kamu rajin sekali belajar. Pasti ada sesuatu, yang ingin kamu gapai, bukan?" sambungnya.

Gempa terhenyak sejenak, "Aku mau menjadi dokter. Aku ingin belajar banyak untuk menjadi seseorang
yang mampu menyelamatkan
orang yang aku cintai."

Taufan yang mendengar ucapan Gempa terkejut, namun senyum
kecil mulai terukir di wajahnya.

Kita kembali ke masa saat ini. Halilintar terbaring lemah di atas kasur, kondisi kesehatan Halilintar semakin memburuk karena kangker Leukemia yang dideritanya sejak lahir. Keluarga mereka, terutama Adik-adiknya, berjuang untuk memenuhi kebutuhan medis
Halilintar yang semakin mahal. Gempa tentu masih bersekolah kelas II SMP, diam-diam ia bekerja sebagai penjaga warteg. Sementara itu Taufan sudah mau lulus SMA. Ia juga kadang² berkerja paruh waktu di stan Taiyaki.

"Bercanda~ haha~ Lagipula kita sedang kekurangan, aku tidak ingin lagi membebani bang upan yang bekerja paruh waktu sambil bersekolah. Biaya menjadi dokter
pasti sangat mahal, kita gak akan
mampu. Belum lagi pemeriksaan
kak Hali dan lain-lainnya," lanjut Gempa mencoba menyamarkan keinginan aslinya, mungkin sedikit takut untuk bermimpi terlalu besar.

Taufan merespon dengan penuh kehangatan, "Tapi, Gempa, kau tidak boleh membuang impianmu begitu saja! Jujur. Dari dulu kita memang selalu serba kekurangan, tapi kak Hali telah mampu menghidupkan kita selama ini, hargain. Dia pasti berkerja mati-matian dahulu untuk mencukupi kita berdua. Aku juga yakin dia sudah lama mengubur semua cita-citanya."

"Pikirkan baik-baik ya, mpa," pintanya.

"Suatu saat mungkin kamu baru
akan mengerti," tambahnya sambil bersimpuh dan memeluk erat Gempa.

"Hei, mpa, mau Abang ceritakan sesuatu? Dan.. hehe.. sudahi acara belajarmu itu. Bukan bermaksud untuk melarangmu belajar.. bukan~ kamu sudah membaca buku lebih
dari 3 jam, beristirahat lah," jelasnya.

"Hmm, iya deh," jawab Gempa santai sambil menutup buku pelajarannya.

(Note: Gempa di umur segini/14 tahun, sudah tahu perihal tentang penyakit Kakaknya A.K.A. Halilintar. Baru-baru ini jadi jangan tanya-tanya lagi yahh.)

"Sini-sini, deket-deket lagi," ucap Taufan sambil memukulkan tangan
ke kasur di sisinya, sedangkan Hali tidur nyenyak di sebelah Taufan.

"Ihh ini sudah dekatt.. Mau sedeket
apa sihh? tanya Gempa merenggut.

"Sedekat dirimu padaku, anzayyyy," jawab Taufan dengan sedikit candaan.

"ohok!"

"Pilih cerita atau diam?" bisik Gempa menyumpal bantal ke muka Taufan.

"Pssst! Iya-iya sabar.. Kak Hali lagi tidur... Abang kan cuma bercanda,"

"Hmmm.... Masih inget gak? Dulu, Empat tahun yang lalu. Tempatnya
di rumah sakit ada bapak guru yang bayarin perawatan Kak Hali. Waktu mpa kelas enam duluu. Seingat bang upan karena Kak Hali mimisan deh,"

"Ho'oh, masih ingat kok, memangnya beliau siapa? Bapak tiri kita?" tanya Gempa dengan senyum nakal.

"Hush! Siapa bilang?!" responnya.

"Lah? Dulu kan Bang upan pernah cerita. Kalau dari lahir Gempa gak punya bapak sama ibu alias, Anak Yatim Piyatu. Masa gak ingat~?"

"Astaghfirullah, mpa! Siapa yang ngajarin kamu? Kalau kedengaran
Kak Hali, bisa mampus aku," ujarnya. Sementara Gempa hanya bisa terkekeh.

Di Balik Keluarga CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang