Perundungan

111 13 27
                                    

Gempa memberi salam, "Assalamualaikum, Solar."
Saat ia tiba di depan rumahnya.

"Woi! Di sini anjing. Liat gak sih lu? Buta biji mata lo kalo kagak liat," bentak Solar dengan nada ketus.

"Widihh bawa apaan tuhh,"
komentar yang lain, mencoba
mencari tahu isi bawaan Gempa.

"Ho'oh, dia beneran bawa kayunya," ucap seseorang dari jarak yang jauh.

Gempa hanya bisa tersenyum kecut. Menerima segala cemoohan yang di lemparkan padanya. Dalam hati, dia mengingatkan dirinya sendiri, 'tetap senyum Gempa, senyum itu ibadah,'

"Hah? Paku-nya kecil amat. Kamu bodoh ya? Ukuran sekecil ini mana bisa untuk buat bingkai! Goblok!" celaan Solar menusuk hati Gempa, membuatnya malu dan terpojok.

"Iyaa! Mana udah karatan lagi," tambah pemuda itu dengan gerakan lentik layaknya seorang perempuan.

"Ho'oh, bener," ikut menambahkan komentar yang menyudutkan Gempa.

"Maaf teman-teman, adanya cuma itu," ucap Gempa dengan suara yang gagap.

"Gak perlu. Kami gak mau gunain
paku lu yang udah karatan. Kami sudah beli paku sendiri. Pokoknya kamu harus membayar paku ini!" tukas Solar, menuntut Gempa.

"Ishh! Kenapa kamu gak bawa palu sama pisau?" tanya pemuda lainnya
yang agak kesal dan sedikit pickme.

"Ho'oh," gumam seorang pemuda,
ia hanya memasang muka datar, menunjukkan ketidakberpihakan.

Gempa menunduk sambil meletakkan tangannya diatas dada, "Yaa, aku pikir.. Kalian yang akan membawanya." Dia tidak berani menatap kearah depan.

Wajah Solar tampak memerah, mungkin disebabkan oleh musim panas yang terik. Atau karena
ia sedang menahan emosinya.

"Sudah-sudah. Solar. Jika kau
terus marah-marah, nanti kau
akan cepat tua," ujar seorang
pemuda dengan tatapan dingin.

"Langsung saja kita buat bingkainya. Kasian Gempa, kau maki-maki terus." Pemuda tersebut membuka kupluk jaketnya, menampilkan mata biru Aquamarine yang menenangkan.

.

Selang beberapa menit, Solar mulai memotong kayu yang dibawa oleh Gempa dengan seenak hati, tanpa memperhatikan perasaan Gempa. Namun sayangnya, hasil potongan kayu tersebut ternyata tidak sesuai dengan ketentuan yang diberikan
oleh Ibu Guru. (10×15 cm). Yang di potong oleh Solar sekitar (7×13 cm).

Thorn, pemuda berparas cantik yang sering disebut agak 'banci', hanya berjongkok di samping Solar sambil memegang sebungkus plastik berisi paku. Dia tampak memperhatikan Solar dalam pembuatan bingkai.

Sementara itu, Ice, pemuda yang sering mengatakan "Ho'oh" di setiap ucapannya. Sedang duduk santai, menguap dan memejamkan matanya perlahan di teras depan rumah Solar.

"Tch! Tidak pas, gara-gara kayu burukmu, ini! Pelengat-plengot. Jadinya seperti ini! Buruk kayak sampah!" desis Solar. Gigi-giginya bergemelatuk. Urat di kepalanya pun
yang semakin pekat dan terlihat jelas.

"Solar. Aku sudah memotong kayu
itu sesuai ketentuan dan aku sudah memberitahukan mu, tapi kau tidak mendengarkan ku. Malahan, kau
terus memotongnya. Itu bukan
kesalahanku, tapi kesalahanmu.
Kau yang telah memotong kayu
itu menjadi terlalu pendek."

Tiba-tiba, Thron mendorong Gempa hingga terjatuh, tanpa aba-aba dia menginjak-injak kaki kiri Gempa.
Bola matanya menghitam, tak ada sedikit pun cahaya hijau Zamrud, seakan-akan ia sedang marah besar.

"Aaaa! Arghh!! Auchh!! Sakit.. Thron.. berhenti," pekik Gempa memohon dengan suara terputus akibat rasa
sakit yang menyelimuti dirinya.

"Hey! Jangan besar mulut. Jangan pernah kau menyalahkan Solar. Solar itu pintar, tidak sepertimu, BODOH."

Di Balik Keluarga CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang